عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيْرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ، فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ - رواه البخاري
"Dari Imran bin Hushain ra ia bercerita, "Pada saat aku terkena penyakit ambien, aku bertanya kepada Nabi Saw tentang caraku mengerjakan shalat." Maka Nabi Saw bersabda, "Shalatlah dengan cara berdiri, jika tidak mampu maka duduk, dan bila tidak mampu maka tidur miring." (Shahih al-Bukhari, Juz I, halaman 376 [1066]).
Berdiri saat menunaikan shalat fardhu itu hukumnya wajib. Sementara pada shalat sunnah hukumnya adalah sunnah. Dalam hadits disebutkan:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَقَالَ مَنْ صَلَّى قَإِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلاَّ قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلاَّ نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ - رواه البخاري
"Dari Imran bin Hushain ia bercerita, "Saya bertanya kepada Nabi Saw tentang shalat yang dilakukan oleh seseorang sembari duduk. Nabi Saw menjawab, "Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka itulah yang paling utama. Sedangkan shalat sambil duduk pahalanya setengah pahala shalat berdiri. Dan shalat sambil tidur itu pahalanya setengah dari shalat sambil duduk." (Shahih al-Bukhari, Juz I, halaman 375 [1064]).
Tatkala menjelaskan hadits di atas Imam Tirmidzi berkata:
هَذَا لِلصَّحِيحِ وَلِمَنْ لَيْسَ لَهُ عُذْرٌ. يَعْنِى فِى النَّوَافِلِ فَأَمَّا مَنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ فَصَلَّى جَالِسًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ الْقَائِمِ
“Hadits ini terdapat dalam kitab Shahih. Hal ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki uzur dan berlaku dalam shalat sunnah. Barangsiapa yang memiliki uzur karena sakit atau selainnya, maka ia boleh shalat sunnah sambil duduk dan pahala yang ia peroleh seperti pahala orang yang shalat sambil berdiri.” (Sunan At Tirmidzi no. 372)
Tentang hadits tersebut, Imam Khaththabi berkata, “Yang dimaksud ialah orang sakit yang dengan susah payah shalat sambil berdiri mendapat pahala dua kali lipat daripada orang sakit yang shalat sambil duduk, karena ia melakukan ini demi mengharapkan pahala, walaupun sebetulnya ia dibenarkan untuk shalat sambil duduk karena sakit.”
Apabila sedang berada dalam perjalanan dengan menggunakan kendaraan, misalnya di atas perahu, bis, pesawat atau lainnya, dan tidak mungkin untuk menunaikan shalat sambil berdiri, maka shalat boleh dikerjakan sambil duduk. Dasarnya adalah hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ فِي السَّفِيْنَةِ. فَقَالَ كَيْفَ أُصَلِّي فِي السَّفِيْنَةِ؟ قَالَ صَلِّ فِيْهَا قَائِمًا إِلاَّ أَنْ تَخَافَ الْغَرْقَ - رواه الحاكم والبيهقي، وقال الحاكم صحيح على شرط مسلم
"Dari Ibnu Umar ra ia berkata, "Nabi Saw ditanya, bagaimana caraku shalat di perahu?" Beliau Saw menjawab, "Shalatlah dengan cara berdiri, kecuali jika kamu takut tenggelam." (Sanad hadits ini sesuai syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Al-Mustadrak ala al-Shahihain, Juz I, halaman 409 [1019], Sunan al-Baihaqi Kubra, Juz III, halaman 155 {5277), termasuk hadits hasan).
Lalu, bagaimanakah cara berdiri yang benar di dalam shalat?
Berdiri di dalam shalat dilakukan dengan cara meluruskan kedua kaki. Antara ujung kedua ibu jari direnggangkan kira-kira sejengkal, dan kedua tumitnya kira-kira empat jari. Wajah ditundukkan dan pandangan diarahkan ke tempat sujud. Kemudian bacalah surat al-Nas sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar dijauhkan dari godaan setan. Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah menegaskan:
فَاسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ قَائِمًا مُزَاوِجًا بَيْنَ قَدَمَيْكَ بِحَيْثُ لاَ تَضُمُّهُمَا، وَاسْتَوِ قَائِمًا وَاقْرَأْ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ تَحَصُّنًا بِهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ - بداية الهداية: ٤٥
"Hendaklah berdiri menghadap kiblat seraya meluruskan dua kaki dan tidak merapatkannya. Berdirilah dengan tegak kemudian membaca surat al-Nas sebagai permohonan agar dijaga dari godaan setan yang terkutuk." (Bidayah al-Hidayah: 45).
Sementara Syaikh Nawawi menambahkan:
أَمَّا الرَّأْسُ فَاْلأَفْضَلُ إِطْرَاقُهُ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ لِلْخُشُوْعِ وَأَغَضُّ لِلْبَصَرِ - مراقي العبودية: ٤٥
"Paling utama kepala ditundukkan, karena posisi itu dapat memudahkan untuk khusyu' serta lebih menjaga pandangan." (Maraqi al-Ubudiyyah: 45).
Setelah itu mulailah melafalkan niat. Hukumnya sunnah. Tujuannya adalah untuk membantu hadirnya niat di dalam hati. Syaikh Nawawi al-Bantani di dalam kitab Kasyifah al-Saja Syarh Safinah al-Najah menjelaskan:
اَلنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ، فَلاَ يَجِبُ النُّطْقُ بِهَا بِاللِّسَانِ، لَكِنْ يُسَنُّ لِيُعَاوِنَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ - كاشفة السجا: ٥٢
"Niat itu di dalam hati. Tidak wajib diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mengucapkan niat hukumnya adalah sunnah untuk membantu hati melafalkan niat." (Kasyifah al-Saja: 52).
Sebagian orang secara tergesa-gesa menyatakan bahwa melafalkan niat shalat itu adalah bid’ah, karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Tentu saja pernyataan itu tidak benar, karena dalam beberapa kesempatan Nabi Saw pernah melafalkan niat, misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا - رواه مسلم
"Dari sahabat Anas ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw mengucapkan, "Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji." (Shahih Muslim, Juz II, halaman 905 [185]).
Konteks hadits ini memang berbicara seputar haji. Namun shalat dapat di-qiyas-kan (dianalogikan) kepada ibadah haji. Jika ketika melaksanakan ibadah haji sunnah melafalkan niat, maka dalam shalat juga demikian, dianjurkan mengucapkan ushalli.
Untuk lebih memperjelas masalah ini simaklah uraian seorang ulama asal Yordania, yakni Syaikh Hasan bin Ali Assaqqaf sebagai berikut:
وَالتَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ عِنْدَ تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ سُنَّةٌ. لِأَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا قَالَ "إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ" لَمْ يَقُلْ اِجْهَرُوْا بِهَا، فَمَنْ أَتَى بِالنِّيَّةِ بِقَلْبِهِ - اَيْ اِسْتَحَضَرَهَا عِنْدَ تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ بِذِهْنِهِ وَلَمْ يَنْطِقْ بِهَا - صَحَّتْ صَلاَتُهُ. وَمَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَتَلَفَّظَ بِهَا بِلِسَانِهِ صَحَّ أَيْضًا. وَأَتَى بِالسُّنَّةِ. خِلاَفًا لِمَنْ يَقُوْلُ بِأَنَّ التَّلَفُّظَ بِهَا بِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ. وَكَيْفَ يَكُوْنُ التَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ بِدْعَةً وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلَفَّظَ بِهَا فِيْ بَعْضِ الْعِبَادَاتِ، مِنْهَا قَوْلُهُ مُسْمِعَا النَّاسَ فِيْ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ: "لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍّ" وَمِنْهَا أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى سَيِّدَةِ عَائِشَةَ فَقَالَ وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَأْكُلَ طَعَامًا "هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟" فَقَالَتْ لاَ. فَقَالَ فَإِنَّنِيْ إِذَنْ صَائِمٌ - صحيح صفة صلاة النبي: ٦٨
"Melafalkan niat ketika akan takbiratul ihram adalah sunnah. Pada saat Nabi Saw bersabda, "Seluruh perbuatan tergantung niat", Nabi Saw tidak pernah bersabda, "Keraskanlah (lafalkanlah) niatmu". Oleh karena itu, orang yang hanya menghadirkan niat di dalam hatinya dan tidak diucapkan, maka shalatnya sah. Begitu pula bila ia mengucapkannya dengan bibirnya, shalatnya juga sah dan ia telah melaksanakan perbuatan sunnah. Hal ini berbeda dengan pendapat segelintir orang yang mengatakan bahwa perbuatan itu adalah bid'ah yang tercela. Bagaimana mungkin melafalkan niat itu menjadi bid'ah padahal dalam beberapa ibadah yang lain Nabi Saw juga melakukannya. Misalnya ketika beliau memperdengarkan kepada orang banyak pada saat melaksanakan ihram untuk haji. Yakni ucapan Nabi Saw, "Labbaika bi'umratin wa hajjin" (Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji). Begitu pula ketika pada suatu saat Nabi Saw menemui Sayyidah 'Aisyah ra untuk sarapan pagi. Nabi Saw bertanya, "Apakah ada makanan?" Sayyidah 'Aisyah ra menjawab, "Tidak ada." Nabi Saw kemudian mengucapkan, "Kalau begitu aku akan berpuasa." (Shahih Muslim [2771], Shahih Shifati Shalat al-Nabi: 68).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar