Menurut sebuah hadits dari Anas ra:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ" – رواه أبوداود والنسائى والحاكم
Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah Saw datang ke Madinah, dan mereka (warga Madinah) mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya. Beliau bertanya: “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Di dua hari ini kami biasa bermain-main pada masa jahiliyah”. Maka beliau bersabda, “Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri.” (Sunan Abu Daud, 1:295, Sunan an-Nasa-i, 3:179, Al-Mustadrak Ala ash-Shahihain Li al-Hakim, 1:434. Redaksi di atas versi Abu Daud.)
Sehubungan dengan hadits di atas para ulama menerangkan bahwa Id yang pertama disyariatkan adalah Idul Fitri, kemudian Idul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijriyah. (Shubhu al-A’sya, 2:444; Bulughu al-Amani, juz 6:119; Subulu as-Salam, I:60).
Para ulama juga menerangkan: “Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai Id bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahr, yang dia itu Id akbar, karena banyaknya pembebasan (dari neraka) pada hari Arafah sebelum Idul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)”. (Hasyiah al-Jumal, 6:203, Hasyiah al-Bajirumi ‘ala al-Manhaj, 4:235).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa puasa Arafah mulai disyariatkan bersamaan dengan Idul Adha, yaitu tahun ke-2 Hijriyah. Keduanya disyariatkan setelah disyariatkannya puasa Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun yang sama.