Jumat, 14 Agustus 2015

Memahami Makna Bid'ah

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:

البدعة فعل مالم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم

"Bid'ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." (Qawa'id al Ahkam fi Mashalih al Anam, 2/172)

Menurut pengertian yang diberikan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam ini, seluruh perbuatan atau amalan keagamaan yang belum ada dan tidak dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid'ah, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik.

Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini mengumpulkan ayat-ayat al Qur'an dalam satu mushhaf, menulis kitab-kitab hadits, membukukan berbagai kajian fiqih dan tafsir, memperingati maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, khutbah dengan selain bahasa Arab, menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji, pengajian setiap Ahad pagi, dan berbagai macam amalan baik lainnya adalah bid'ah. Mengapa? Karena semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 


Namun demikian beliau tidak berpandangan bahwa semua yang tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap sebagai bid'ah dhalalah (bid'ah sesat dan tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam neraka. Beliau justru membagi bid'ah ke dalam lima bagian. Ketika menjelaskan kelima macam bid'ah itu beserta contoh-contohnya, beliau berkata:

"Bid'ah wajibah (bid'ah wajib) memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta'dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang dhaif (lemah). Bid'ah muharramah (bid'ah yang haram) memiliki banyak contoh, di antaranya bid'ah ajaran Qadariyah, Jahamiyah, Murji'ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap berbagai bid'ah tersebut termasuk bid'ah yang wajib.

"Bid'ah mandubah (bid'ah sunnah) memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, di antaranya shalat Tarawih. Bid'ah makruhah (bid'ah makruh) memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf al Qur'an. Bid'ah mubahah (bid'ah mubah) memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran..." (Qawa'id al Ahkam fi Mashalih al Anam, 2/173)

Lima macam bid'ah ini bisa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi'i berikut ini:

المحدثات ضربان: ما احدث يخالف كتابا اوسنة او اجماعا فهو بضعة الضلالة، وما احدث في الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهو محدثة غير مذمومة

"Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama, sesuatu yang menyalahi al Qur'an, Sunnah, Ijma' atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah bid'ah yang sesat. Kedua, perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al Qur'an, Sunnah, maupun Ijma', inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela." (Manaqib al Syafi'i, 1/469)

Kalau kita perhatikan ungkapan Imam Syafi'i di atas terlihat dengan jelas bahwa beliau membagi bid'ah ke dalam dua kategori: bid'ah dhalalah (bid'ah sesat/tercela) dan bid'ah hasanah (bid'ah terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid'ah tercela dan mana bid'ah terpuji adalah al Qur'an, Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Atsar para sahabat, dan Ijma' para ulama.

Jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan al Qur'an, Sunnah, Atsar dan Ijma', maka ia tergolong bid'ah dhalalah. Sedangkan apabila ia bersesuaian dengan hal-hal tersebut, maka ia tergolong bid'ah hasanah, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bahkan Imam Syafi'i menafikan nama bid'ah terhadap sesuatu yang memiliki landasan syar'i meskipun belum pernah diamalkan pada masa salaf.
Simaklah perkataan beliau berikut:

كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولولم يعمل به السلف لان تركهم للعمل به قد كون لعذر قام لهم في الوقت او لما هو افضل منه او لعله لم يبلغ جميعهم علم به

"Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar'i, maka bukan termasuk bid'ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amalan lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka."

Ketika Imam Syafi'i berkata demikian tentunya Anda tidak akan berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Namun rasanya kurang tepat bila tidak kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat beliau saat membagi bid'ah menjadi dua bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dalil Pertama:

Hadits yang bersumber dari Aisyah ra yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من احدث في امرنا هذا ما ليس منه  فهو رد

"Barangsiapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syariat ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak." (HR Muslim)

Dalil Kedua:

Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah al Bajali ra yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من سن في الاسلام سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها بعده من غير ان ينقص من اجورهم شيء، ومن سن في الاسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير ان ينقص من اوزارهم شيء

"Barangsiapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barangsiapa yang merintis di dalam Islam sunnah (pebuatan) yang buruk maka baginya dosa  dari perbuatan tersebut, juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun." (HR Muslim)  

Coba perhatikan hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya terdapat kebolehan, bahkan anjuran agar setiap Muslim mengadakan (menciptakan) sunnah hasanah (perbuatan baik). Ada janji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis perbuatan baik di dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan memperoleh dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis perbuatan baik dan pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang dirintisnya itu.

Sebaliknya, yang dilarang adalah merintis (menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang melakukan hal ini dengan dua macam dosa: dosa rintisannya terhadap pebuatan buruk dan dosa karena ada orang yang mengikuti perbuatan buruknya itu.

Dalil Ketiga:

Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abd al Qari ra, tentang perkataan Umar bin Khaththab ra berkaitan dengan shalat Tarawih berjamaah yang beliau anjurkan:

نعمة البدعة هذه

"Sebaik-baik bid'ah adalah ini." (HR Bukhari dan Malik) 

Berdasarkan pada tiga hadits di atas muncullah pendapat Imam Syafi'i seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid'ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amalan yang akan menambah syiar Islam dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. (J.R)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar