Jumat, 27 Oktober 2023

Shalat Jenazah di Kuburan: Hukum dan Ketentuannya

Tidak semua orang dapat menyalati mayit sebelum dimakamkan. Karena kendala tertentu, seperti jarak yang terlampau jauh, mengakibatkan sebagian orang tidak menjumpai mayit sebelum dikebumikan.

Karena kedekatan dengan sang mayit, sebagian orang menyempatkan diri melaksanakan shalat jenazah di kuburan sang mayit. Pertanyaannya adalah bagaimana hukum shalat jenazah di kuburan dan bagaimana ketentuannya?

Shalat jenazah di kuburan hukumnya diperbolehkan, baik mayit dimakamkan sebelum dishalati atau sesudahnya. Kebolehan ini berlandaskan kepada hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Muhammad Saw menyalati jenazah di atas kubur perempuan atau laki-laki yang rajin membersihkan masjid. Demikian pula hadits riwayat Imam An-Nasa’i dengan sanad yang shahih, bahwa Nabi Muhammad Saw menyalati jenazah Ummu Mahjan di kuburannya, yang telah dikebumikan di malam hari.


Namun kebolehan menyalati jenazah di kuburan disyaratkan bukan jenazahnya para nabi. Maka menjadi tidak sah menyalati jenazah para nabi setelah kewafatan mereka. Ada dua alasan mengapa tidak sah. Pertama, berdasarkan hadits Nabi yang melarang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid (tempat shalat). Kedua, karena saat kewafatan para nabi, kita bukan tergolong orang yang diwajibkan untuk menyalati.

Keterangan di atas sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakariyya Al-Anshari berikut ini:

 و  تجوز  على قبر غير النبي صلى الله عليه وسلم بعد الدفن سواء أدفن قبلها أم بعدها

“Boleh (shalat jenazah) di kuburnya selain (kuburnya) nabi setelah dikebumikan, baik mayit dimakamkan sebelum dishalati maupun sesudahnya.”

 لأنه صلى الله عليه وسلم صلى على قبر امرأة أو رجل كان يقم المسجد وعلى قبر مسكينة يقال لها أم محجن دفنت ليلا روى الأول الشيخان والثاني النسائي بإسناد صحيح

“Karena Nabi Muhammad Saw shalat (jenazah) di kuburnya perempuan atau laki-laki yang rajin menyapu masjid. Dan Nabi (shalat jenazah) di kuburnya perempuan miskin yang disebut-sebut bernama Ummu Mahjan, ia sudah dimakamkan di malam hari. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Hadits kedua diriwayatkan Imam An-Nasa’i dengan sanad yang shahih.”

 أما الصلاة على قبور الأنبياء صلى الله عليهم وسلم فلا تجوز واحتج له بخبر الصحيحين لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد  وبأنا لم نكن أهلا للفرض وقت موتهم

“Adapun shalat di kubur para nabi, maka tidak boleh. Argumennya adalah haditsnya Imam Al-Bukhari dan Muslim bahwa Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Argumen lain, kita bukan termasuk orang yang diwajibkan menyalati saat kewafatan mereka.” (Syekh Zakariyya Al-Anshari dalam Asnal Mathalib, juz I, halaman 322).

Dalam pelaksanaan shalat jenazah di kuburan, disyaratkan posisi orang yang menyalati tidak berada di depan kubur. Syarat ini juga berlaku dalam persoalan menyalati jenazah yang hadir. Pensyaratan ini berdasarkan sebuah prinsip bahwa mayat dianggap seperti imam, orang yang menyalati sebagai makmum. Sehingga posisi orang yang shalat tidak boleh berada di depan mayat.

Syarat ini tidak berlaku untuk shalat ghaib sehingga hukumnya sah menyalati ghaib meski posisi orang yang shalat berada di depan mayat, sebab ada hajat (kebutuhan). Syekh Zakariyya Al-Anshari menjelaskan:

 فإن تقدم المصلي على الجنازة الحاضرة أو القبر لم تصح صلاته كما في تقدم المأموم على إمامه أما المتقدم على الغائبة فصلاته صحيحة للحاجة

“Bila mushalli maju melampaui posisi jenazah yang hadir atau mayit yang di kubur, maka tidak sah shalatnya sebagaimana dalam persoalan majunya posisi makmum melampaui imamnya. Sedangkan mushalli yang posisinya lebih maju dalam shalat ghaib, maka shalatnya sah karena kebutuhan” (Syekh Zakariyya Al-Anshari dalam Asnal Mathalib, juz I, halaman 317).

Keabsahan shalat jenazah di kuburan juga disyaratkan harus dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menyalati jenazah saat kematian mayit, dengan sekira saat kematian mayit, seseorang dalam keadaan muslim, mukallaf, dan suci dari haidh dan nifas. Maka mengecualikan non-muslim, anak kecil, orang gila dan perempuan haidh. Orang-orang yang saat kewafatan mayat dalam kondisi tersebut, tidak sah melaksanakan shalat jenazah di kuburan.

Syekh Zainuddin Al-Malibari menegaskan:

 (و) تصح على حاضر ( مدفون ) ولو بعد بلائه (غير نبي) فلا تصح على قبر نبي لخبر الشيخين) من أهل فرضها وقت موته) فلا تصح من كافر وحائض يومئذ كمن بلغ أو أفاق بعد الموت ولو قبل الغسل كما اقتضاه كلام الشيخين

“Sah menyalati mayit hadir yang dimakamkan, meski setelah hancur. Selain mayit nabi, maka tidak sah menyalati di kubur nabi karena hadits Imam Al-Bukhari dan Muslim. Dari orang yang diwajibkan menyalati saat kematian mayit. Maka tidak sah dari non-muslim dan perempuan haidh saat kematian mayit, sebagaimana tidak sah dilakukan orang yang baligh atau sembuh dari gila setelah kematian mayit, meski balighnya atau sembuhnya sebelum mayit dimandikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh ungkapan Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, juz II, halaman 133).

Mengomentari rujukan di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

 قوله (من أهل فرضها وقت موته) أي تصح الصلاة على الميت الغائب وعلى الحاضر المدفون إن كان من يريد الصلاة من أهل أداء فرضها وقت الموت بأن يكون حينئذ مسلما مكلفا طاهرا لأنه يؤدي فرضا خوطب به  اه  تحفة

“Ucapan Syekh Zainuddin, "Dari orang yang diwajibkan menyalati saat kematian mayit", maksudnya adalah sah menyalati mayit ghaib dan mayit hadir yang telah dimakamkan, bila orang yang hendak menyalati adalah orang yang diwajibkan menyalati pada waktu kematian mayit. Dengan sekira saat kematian mayit, ia dalam keadaan muslim, mukallaf dan suci (dari haidh dan nifas), karena ia telah menjalankan kewajiban yang dituntut kepadanya.” (Lihat Syekh Abu Bakr bin Syatha dalam I’anatut Thalibin, juz II, halaman 133).

Demikian mengenai hukum dan ketentuan menyalati mayit di kuburan. Semoga bermanfaat.

Wallahu a‘lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar