سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci (Allah) yang telah mengisra’kan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekitarnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kata subhaana terambil dari kata sabaha yang pada mulanya berarti menjauh. “Bertasbih” dalam pengertian agama berarti “Menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan dan kejelekan.” Dengan mengucapkan “Subhaanallah”, si pengucap mengakui bahwa tidak ada sifat, atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna, atau tercela, tidak ada juga ketetapan-Nya yang tidak adil, baik terhadap orang/makhluk lain maupun terhadap si pengucap.
Kata subhaana
biasa digunakan untuk menunjukkan keheranan atau keajaiban terhadap sesuatu.
Agaknya dalam konteks ayat ini - karena tidak ada sesuatu yang mengherankan
sebelumnya, maka ia mengisyaratkan apa yang disebut sesudahnya yaitu peristiwa
Isra’-nya Nabi Muhammad Saw. Ia adalah suatu peristiwa yang menakjubkan
dan mengherankan bagi mitra bicara karena terjadinya sangat di luar kebiasaan
yang selama ini dikenal manusia.
Penggunaan kata subhaanaalladzii
asraa bi‘abdihii (Maha Suci yang telah mengisra’kan hamba-Nya), tanpa
menyebut nama Allah tetapi menyebut perbuatan-Nya yakni mengisra’kan, agaknya
agar tidak terjadi pengulangan kata Allah, sekaligus menghubungkan dengan
sangat erat antara awal surah ini dengan akhir surah sebelumnya, yaitu surah an-Nahl,
lalu dinyatakan Maha Suci Dia yang
mengisra’kan. Hal itu juga untuk menekankan betapa
peristiwa tersebut sangat mengherankan dan menakjubkan.
Kata asraa
serupa dengan kata saraa, yakni
perjalanan malam. Huruf ba’ pada kata bi‘abdihii, yang bila diterjemahkan secara harfiah adalah dengan
hamba-Nya. Penggunaan huruf ba’ ini mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’
tersebut terjadi di bawah bimbingan Allah dan taufik-Nya. Penggunaan kata ini
menjadikan Nabi Saw bukan saja diisra’kan lalu dilepas begitu saja, tetapi
Isra’ dilakukan Allah di bawah bimbingan-Nya secara terus menerus bahkan
“disertai ” oleh-Nya. Perjalanan Nabi Muhammad Saw ini bukanlah atas kehendak
beliau dan tidak juga terjadi atas dasar kemampuan pribadi beliau, tetapi itu
atas kehendak Allah. Bahkan Dia yang mengisra’kan yakni yang melakukan perjalanan
itu untuk beliau. Atas dasar itu,
dari awal ayat ini mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa tersebut harus
dikaitkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah Swt. Sungguh keliru jika Anda mengukur
peristiwa itu dengan ukuran kemampuan makhluk. Kata ‘abdihii,
biasa diterjemahkan hamba-Nya. Seorang hamba tidak memiliki sesuatu. Apa yang
dimilikinya adalah milik tuannya. Dia adalah anak panah yang dapat digunakan
tuannya untuk tujuan yang dikehendaki sang tuan.
Kata lailan (malam), sepintas
terlihat tidak diperlukan lagi setelah kata asraa yang berarti perjalanan malam. Sementara
ulama menjadikan kata ini mengandung makna sedikit, sehingga dari sini dipahami
bahwa perjalanan malam itu tidak berlangsung sepanjang malam, tetapi hanya
beberapa saat dari malam yang menurut suatu riwayat berlangsung demikian
singkat, sehingga setelah kembali, beliau masih menemukan kehangatan
pembaringan beliau walau perjalanan demikian jauh.
Kata al-Masjid al-Haram
terambil dari kata masjid yakni tempat sujud, dan haram yang
makna dasarnya adalah sesuatu yang dihormati. Dari
sini al-Masjid al-Haram adalah masjid yang agung dan dihormati. Kata al-Aqsha
bermakna yang terjauh. Yang dimaksud adalah tempat sujud yang terjauh ketika itu yakni terjauh dalam benak dan pandangan mitra bicara,
yaitu Bait al-Maqdis di Palestina.
Ayat di atas menyebutkan awal perjalanan Isra’ dan akhirnya, yakni antara dua
masjid. Hal tersebut agaknya untuk mengisyaratkan bahwa perjalanan hidup manusia menuju Allah swt.
hendaknya bermula dari masjid, yakni kepatuhan
kepada Allah dan berakhir pula dengan masjid, yakni kepatuhan kepada-Nya.
Kata baaraknaa (Kami berkati), berasal dari kata barakah, yakni
kebajikan yang banyak. Keberkahan yang berada di sekitamya itu antara lain pengutusan para nabi
di sana, juga kenyamanan dan hasil buminya yang banyak dan subur.
Kata haulahu (sekitarnya) memberi kesan bahwa kalau “sekitarnya ” saja
telah diberkati Allah, maka tentu lebih-lebih lagi lokasi masjid dan masjidnya
sendiri. Kata sekitarnya mengesankan bahwa keberkahan tersebut melimpah sehingga membanjiri
sekitarnya.
Firman-Nya: Innahu huwas samii’ul bashiir (Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat). Ada juga yang memahaminya sebagai menunjuk kepada
Nabi Muhammad Saw. Al-Biqa‘i menulis bahwa karena
Allah telah menganugerahkan kepada Nabi Muhammad daya lihat dan daya dengar
yang sangat sempurna sehingga daya selain beliau sama sekali tidak berarti jika
dibanding dengan daya dengar dan daya lihat beliau itu, maka ayat ini
menggunakan kata Sami'dan Bashir yakni yang biasa digunakan untuk Allah swt. Bukti
keluarbiasaan daya itu - menurut al-Biqa‘i - adalah kemampuan Nabi Muhammad menjelaskan
kepada kaum musyrikin tentang keadaan Bait al-Maqdis, keadaan kafilah mereka dan lain-lain yang
diungkap dalam sekian banyak riwayat.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar