Rabu, 07 Februari 2024

Tafsir Surat Al Isra Ayat Satu

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci (Allah) yang telah mengisra’kan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekitarnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Kata subhaana terambil dari kata sabaha yang pada mulanya berarti menjauh. “Bertasbih” dalam pengertian agama berarti “Menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan dan kejelekan.” Dengan mengucapkan “Subhaanallah”, si pengucap mengakui bahwa tidak ada sifat, atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna, atau tercela, tidak ada juga ketetapan-Nya yang tidak adil, baik terhadap orang/makhluk lain maupun terhadap si pengucap.

Kata subhaana biasa digunakan untuk menunjukkan keheranan atau keajaiban terhadap sesuatu. Agaknya dalam konteks ayat ini - karena tidak ada sesuatu yang mengherankan sebelumnya, maka ia mengisyaratkan apa yang disebut sesudahnya yaitu peristiwa Isra’-nya Nabi Muhammad Saw. Ia adalah suatu peristiwa yang menakjubkan dan mengherankan bagi mitra bicara karena terjadinya sangat di luar kebiasaan yang selama ini dikenal manusia.

Penggunaan kata subhaanaalladzii asraa bi‘abdihii (Maha Suci yang telah mengisra’kan hamba-Nya), tanpa menyebut nama Allah tetapi menyebut perbuatan-Nya yakni mengisra’kan, agaknya agar tidak terjadi pengulangan kata Allah, sekaligus menghubungkan dengan sangat erat antara awal surah ini dengan akhir surah sebelumnya, yaitu surah an-Nahl,  lalu dinyatakan Maha Suci Dia yang mengisra’kan. Hal itu juga untuk menekankan betapa peristiwa tersebut sangat mengherankan dan menakjubkan.

Kata asraa serupa dengan kata saraa, yakni perjalanan malam. Huruf ba’ pada kata bi‘abdihii, yang bila diterjemahkan secara harfiah adalah dengan hamba-Nya. Penggunaan huruf ba’ ini mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’ tersebut terjadi di bawah bimbingan Allah dan taufik-Nya. Penggunaan kata ini menjadikan Nabi Saw bukan saja diisra’kan lalu dilepas begitu saja, tetapi Isra’ dilakukan Allah di bawah bimbingan-Nya secara terus menerus bahkan “disertai ” oleh-Nya. Perjalanan Nabi Muhammad Saw ini bukanlah atas kehendak beliau dan tidak juga terjadi atas dasar kemampuan pribadi beliau, tetapi itu atas kehendak Allah. Bahkan Dia yang mengisra’kan yakni yang melakukan perjalanan itu untuk beliau. Atas dasar itu, dari awal ayat ini mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa tersebut harus dikaitkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah Swt. Sungguh keliru jika Anda mengukur peristiwa itu dengan ukuran kemampuan makhluk. Kata ‘abdihii, biasa diterjemahkan hamba-Nya. Seorang hamba tidak memiliki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Dia adalah anak panah yang dapat digunakan tuannya untuk tujuan yang dikehendaki sang tuan.

Kata lailan (malam), sepintas terlihat tidak diperlukan lagi setelah kata asraa yang berarti perjalanan malam. Sementara ulama menjadikan kata ini mengandung makna sedikit, sehingga dari sini dipahami bahwa perjalanan malam itu tidak berlangsung sepanjang malam, tetapi hanya beberapa saat dari malam yang menurut suatu riwayat berlangsung demikian singkat, sehingga setelah kembali, beliau masih menemukan kehangatan pembaringan beliau walau perjalanan demikian jauh.

Kata al-Masjid al-Haram terambil dari kata masjid yakni tempat sujud, dan haram yang makna dasarnya adalah sesuatu yang dihormati. Dari sini al-Masjid al-Haram adalah masjid yang agung dan dihormati. Kata al-Aqsha bermakna yang terjauh. Yang dimaksud adalah tempat sujud yang terjauh ketika itu yakni terjauh dalam benak dan pandangan mitra bicara, yaitu Bait al-Maqdis di Palestina.

Ayat di atas menyebutkan awal perjalanan Isra’ dan akhirnya, yakni antara dua masjid. Hal tersebut agaknya untuk mengisyaratkan bahwa perjalanan hidup manusia menuju Allah swt. hendaknya bermula dari masjid, yakni kepatuhan kepada Allah dan berakhir pula dengan masjid, yakni kepatuhan kepada-Nya.

Kata baaraknaa (Kami berkati), berasal dari kata barakah, yakni kebajikan yang banyak.  Keberkahan yang berada di sekitamya itu antara lain pengutusan para nabi di sana, juga kenyamanan dan hasil buminya yang banyak dan subur.

Kata haulahu (sekitarnya) memberi kesan bahwa kalau “sekitarnya ” saja telah diberkati Allah, maka tentu lebih-lebih lagi lokasi masjid dan masjidnya sendiri. Kata sekitarnya mengesankan bahwa keberkahan tersebut melimpah sehingga membanjiri sekitarnya.

Firman-Nya: Innahu huwas samii’ul bashiir (Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat). Ada juga yang memahaminya sebagai menunjuk kepada Nabi Muhammad Saw. Al-Biqa‘i menulis bahwa karena Allah telah menganugerahkan kepada Nabi Muhammad daya lihat dan daya dengar yang sangat sempurna sehingga daya selain beliau sama sekali tidak berarti jika dibanding dengan daya dengar dan daya lihat beliau itu, maka ayat ini menggunakan kata Sami'dan Bashir yakni yang biasa digunakan untuk Allah swt. Bukti keluarbiasaan daya itu - menurut al-Biqa‘i - adalah kemampuan Nabi Muhammad menjelaskan kepada kaum musyrikin tentang keadaan Bait al-Maqdis, keadaan kafilah mereka dan lain-lain yang diungkap dalam sekian banyak riwayat.

Wallahu a’lam

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar