Karena kedekatan dengan sang mayit, sebagian orang menyempatkan
diri melaksanakan shalat jenazah di kuburan sang mayit. Pertanyaannya adalah bagaimana
hukum shalat jenazah di kuburan dan bagaimana ketentuannya?
Shalat jenazah di kuburan hukumnya diperbolehkan, baik mayit dimakamkan sebelum
dishalati atau sesudahnya. Kebolehan ini berlandaskan kepada hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim,
bahwa Nabi Muhammad Saw
menyalati jenazah di atas
kubur perempuan atau laki-laki yang rajin membersihkan masjid. Demikian pula
hadits riwayat Imam An-Nasa’i
dengan sanad yang shahih, bahwa Nabi Muhammad Saw menyalati jenazah Ummu Mahjan di
kuburannya, yang telah dikebumikan di malam hari.
Namun kebolehan menyalati
jenazah di kuburan disyaratkan bukan jenazahnya para nabi. Maka menjadi tidak
sah menyalati jenazah para nabi
setelah kewafatan mereka. Ada dua alasan mengapa tidak sah. Pertama,
berdasarkan hadits Nabi
yang melarang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid (tempat shalat). Kedua,
karena saat kewafatan para nabi, kita bukan tergolong orang yang diwajibkan
untuk menyalati.
Keterangan di atas
sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakariyya Al-Anshari berikut ini:
و تجوز
على قبر غير النبي صلى الله عليه وسلم بعد الدفن سواء أدفن قبلها أم بعدها
“Boleh (shalat
jenazah) di kuburnya selain
(kuburnya) nabi setelah dikebumikan, baik mayit dimakamkan sebelum dishalati
maupun sesudahnya.”
لأنه صلى الله عليه
وسلم صلى على قبر امرأة أو رجل كان يقم المسجد وعلى قبر مسكينة يقال لها أم محجن
دفنت ليلا روى الأول الشيخان والثاني النسائي بإسناد صحيح
“Karena Nabi Muhammad Saw shalat
(jenazah) di kuburnya perempuan atau laki-laki yang rajin menyapu
masjid. Dan Nabi (shalat
jenazah) di kuburnya perempuan miskin yang disebut-sebut bernama
Ummu Mahjan, ia sudah dimakamkan di malam hari. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim.
Hadits kedua diriwayatkan Imam An-Nasa’i
dengan sanad yang shahih.”
أما الصلاة على قبور
الأنبياء صلى الله عليهم وسلم فلا تجوز واحتج له بخبر الصحيحين لعن الله اليهود
والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد وبأنا لم نكن أهلا للفرض وقت موتهم
“Adapun shalat di kubur para nabi, maka
tidak boleh. Argumennya adalah haditsnya Imam Al-Bukhari
dan Muslim bahwa Allah melaknat kaum
Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.
Argumen lain, kita bukan termasuk orang yang diwajibkan menyalati saat kewafatan
mereka.” (Syekh Zakariyya
Al-Anshari dalam
Asnal Mathalib, juz I, halaman 322).
Dalam pelaksanaan shalat jenazah di kuburan, disyaratkan posisi
orang yang menyalati
tidak berada di depan kubur. Syarat ini juga berlaku dalam persoalan menyalati jenazah yang hadir.
Pensyaratan ini berdasarkan sebuah prinsip bahwa mayat dianggap seperti imam,
orang yang menyalati
sebagai makmum. Sehingga posisi orang yang shalat tidak boleh berada di depan
mayat.
Syarat ini tidak berlaku untuk shalat ghaib sehingga hukumnya sah
menyalati ghaib meski posisi
orang yang shalat berada di depan mayat, sebab ada hajat (kebutuhan). Syekh
Zakariyya Al-Anshari menjelaskan:
فإن تقدم المصلي على
الجنازة الحاضرة أو القبر لم تصح صلاته كما في تقدم المأموم على إمامه أما المتقدم
على الغائبة فصلاته صحيحة للحاجة
“Bila mushalli maju melampaui posisi jenazah yang hadir atau mayit yang di kubur, maka
tidak sah shalatnya sebagaimana dalam persoalan majunya posisi makmum melampaui
imamnya. Sedangkan mushalli yang posisinya lebih maju dalam shalat ghaib, maka
shalatnya sah karena kebutuhan” (Syekh Zakariyya Al-Anshari dalam Asnal Mathalib, juz I,
halaman 317).
Keabsahan shalat jenazah di kuburan juga disyaratkan harus
dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menyalati jenazah saat kematian mayit, dengan sekira saat
kematian mayit,
seseorang dalam keadaan muslim,
mukallaf, dan suci dari haidh dan nifas. Maka mengecualikan non-muslim, anak kecil, orang
gila dan perempuan haidh. Orang-orang yang saat kewafatan mayat dalam kondisi
tersebut, tidak sah melaksanakan shalat jenazah di kuburan.
Syekh Zainuddin Al-Malibari menegaskan:
(و) تصح على حاضر (
مدفون ) ولو بعد بلائه (غير نبي) فلا تصح على قبر نبي لخبر الشيخين) من أهل فرضها
وقت موته) فلا تصح من كافر وحائض يومئذ كمن بلغ أو أفاق بعد الموت ولو قبل الغسل
كما اقتضاه كلام الشيخين
“Sah menyalati
mayit hadir yang dimakamkan,
meski setelah hancur. Selain mayit
nabi, maka tidak sah
menyalati di kubur nabi karena hadits Imam Al-Bukhari dan Muslim.
Dari orang yang diwajibkan menyalati
saat kematian mayit.
Maka tidak sah dari non-muslim
dan perempuan haidh saat kematian mayit,
sebagaimana tidak sah dilakukan orang yang baligh atau sembuh dari gila setelah
kematian mayit,
meski balighnya atau sembuhnya sebelum mayit dimandikan sebagaimana yang
ditunjukkan oleh ungkapan
Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul
Mu’in, juz II, halaman 133).
Mengomentari rujukan
di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
قوله (من أهل فرضها
وقت موته) أي تصح الصلاة على الميت الغائب وعلى الحاضر المدفون إن كان من يريد
الصلاة من أهل أداء فرضها وقت الموت بأن يكون حينئذ مسلما مكلفا طاهرا لأنه يؤدي
فرضا خوطب به اه تحفة
“Ucapan Syekh Zainuddin, "Dari orang yang diwajibkan menyalati saat kematian mayit", maksudnya adalah
sah menyalati mayit ghaib dan mayit hadir yang telah
dimakamkan, bila orang yang hendak menyalati
adalah orang yang diwajibkan menyalati
pada waktu kematian mayit.
Dengan sekira saat kematian mayit,
ia dalam keadaan muslim,
mukallaf dan suci (dari haidh dan nifas), karena ia telah menjalankan kewajiban
yang dituntut kepadanya.”
(Lihat Syekh Abu Bakr bin Syatha
dalam I’anatut Thalibin, juz II, halaman 133).
Demikian mengenai hukum dan ketentuan menyalati mayit di kuburan. Semoga bermanfaat.
Wallahu a‘lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar