Kamis, 30 Juni 2022

Puasa Arafah Sudah Ada Sebelum Ada Wukuf di Arafah

Menurut sebuah hadits dari Anas ra:

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ" – رواه أبوداود والنسائى والحاكم

Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah Saw datang ke Madinah, dan mereka (warga Madinah)  mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya. Beliau bertanya: “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Di dua hari ini kami biasa bermain-main pada masa jahiliyah”. Maka beliau bersabda, “Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri.” (Sunan Abu Daud, 1:295, Sunan an-Nasa-i, 3:179, Al-Mustadrak Ala ash-Shahihain Li al-Hakim, 1:434. Redaksi di atas versi Abu Daud.)

Sehubungan dengan hadits di atas para ulama menerangkan bahwa Id yang pertama disyariatkan adalah Idul Fitri, kemudian Idul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijriyah. (Shubhu al-A’sya, 2:444; Bulughu al-Amani, juz 6:119; Subulu as-Salam, I:60).

Para ulama juga menerangkan: “Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai Id bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahr, yang dia itu Id akbar, karena banyaknya pembebasan (dari neraka) pada hari Arafah sebelum Idul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)”. (Hasyiah al-Jumal, 6:203, Hasyiah al-Bajirumi ‘ala al-Manhaj, 4:235).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa puasa Arafah mulai disyariatkan bersamaan dengan Idul Adha, yaitu tahun ke-2 Hijriyah. Keduanya disyariatkan setelah disyariatkannya puasa Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun yang sama.

 Keberangkatan Haji Pertama dalam Islam

Adapun ibadah haji, termasuk di dalamnya wukuf di Arafah,mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriyah sebagaimana dinyatakan oleh jumhur ulama. (Fathu al-Bari, 3:442). Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9 atau ke-10 Hijriyah. (Zaadu al-Ma’ad, 2:101, Manaru al-Qari, 3:64). Kedua pendapat ini seolah bertentangan, namun bila dilihat dari segi waktu disyariatkan dengan waktu pelaksanaannya yang memiliki rentang waktu panjang dapat mementahkan dugaan tersebut. Memang tahun ke-6 adalah tahun disyariatkannya ibadah haji sebagaimana pendapat jumhur ulama, namun pada kenyataannya Rasulullah Saw tidak bisa melaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, bahkan tahun-tahun sesudahnya karena senantiasa dihalang-halangi kaum kafir Quraisy. Beliau baru bisa melaksanakan ibadah haji setelah penaklukan kota Mekah oleh kaum Muslimin, dan inilah ibadah haji yang dilaksanakan Rasulullah Saw yang pertama dan terakhir kalinya pasca disyariatkannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Qatadah ra. berikut ini:

 عَنْ قَتَادَةَ، سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَمُ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: " أَرْبَعٌ: عُمْرَةُ الحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَدَّهُ المُشْرِكُونَ، وَعُمْرَةٌ مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَالَحَهُمْ، وَعُمْرَةُ الجِعِرَّانَةِ إِذْ قَسَمَ غَنِيمَةَ - أُرَاهُ - حُنَيْنٍ " قُلْتُ: كَمْ حَجَّ؟ قَالَ: «وَاحِدَةً» – رواه البخارى و أحمد و إبن حبّان و أبو نعيم

Dari Qatadah ra, aku bertanya kepada Anas ra: “Berapa kali umrahnya Rasulullah saw?” Dia menjawab: “Empat kali; umrah Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah ketika orang musyrik menolak beliau (untuk melakukan ibadah haji), umrah pada tahun depannya ketika beliau berdamai (dengan orang kafir), umrah Ji’ranah ketika beliau membagi ghanimah -aku kira- (ghanimah perang) Hunain”. Aku bertanya: “Berapa kali hajinya Rasul Saw?” Anas menjawab: “Satu kali”. (Shahih Bukhari 3:3, Musnad Ahmad 40:89, Shahih Ibnu Hibban [Muhaqqaq] 9:80, Al-Musnad al-Mustakhraj ‘Ala Shahih Muslim Li Abi Nu’aim 3:348. Redaksi di atas versi Imam Bukhari.) 

Dalam hadits lain disebutkan:

حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ: «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ غَزْوَةً، وَأَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً، لَمْ يَحُجَّ بَعْدَهَا حَجَّةَ الوَدَاعِ» ، قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: «وَبِمَكَّةَ أُخْرَى»– رواه البخارى و مسلم و أحمد و الطبراني و البيهقي

Zaid bin Arqam ra. telah bercerita kepadaku: “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah berperang sebanyak 19 kali dan sesungguhnya beliau melaksanakan haji setelah hijrahnya (ke Madinah) satu kali haji, beliau tidak pernah melaksanakan haji setelahnya, yakni haji wada’.” Abu Ishaq berkata: “Dan (ketika) di Mekah pernah melakukannya”.[1] (Shahih Bukhari, 5:177, Shahih Muslim, 2:916, Musnad Ahmad, 32:52, Al-Mu’jamul Kabir Li ath-Thabrani, 5:189, As-Sunan al-Kubra Li al-Baihaqi, 4:558. Redaksi di atas versi Imam Bukhari).

Secara periodik sejak saat disyariatkannya haji hingga Rasulullah Saw bisa melaksanakannya adalah sebagai berikut:

Di bulan Dzulqa’dah (bulan ke-11) tahun 6 Hijriyah, Rasulullah Saw bersama para sahabat datang ke Mekah untuk melakukan umrah. Namun dihalangi orang musyrikin dan beliau dilarang masuk kota Mekah. Hingga terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Dengan salah satu poin perjanjian, kaum muslimin harus kembali tahun itu, dan baru boleh datang tahun depan untuk hanya tinggal di Mekah selama 3 hari.

Di tahun 7 Hijriyah, Nabi Saw balik ke Mekah untuk melakukan umrah qadha. Mengqadha umrah tahun sebelumnya yang digagalkan oleh kaum musyrikin Quraisy. Beliau memerintahkan semua yang umrahnya gagal, untuk turut serta.

Kemudian di tahun 8 Hijriyah tepatnya bulan Ramadhan (bulan ke-9), terjadilah penaklukan kota Mekah (Fathu Mekah). Selanjutnya, Nabi Saw disibukkan dengan perang Hunain, dan perang Thaif. Kemudian setelah masuk bulan Dzulqa’dah (tahun 8 H) dari Thaif beliau mengambil miqat di Ji’ranah dan melakukan umrah. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.

Bulan Rajab tahun 9 hijriyah, beliau melakukan penyerangan ke Tabuk untuk menaklukan sebagian wilayah Romawi. Setelah kembali ke Madinah, di bulan Dzulqa’dah, Rasulullah Saw memerintahkan Abu Bakar sebagai amirul haj (pemimpin haji). Beliau berangkat bersama 300 kaum muslimin. Dan inilah haji pertama dalam Islam.

Apakah puasa Arafah sudah ada sebelum adanya wukuf?

Imam An-Nasameriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari salah satu istri Nabi Saw:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

“Bahwa Rasulullah Saw terbiasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, senin pertama setiap bulan, dan dua kali Kamis.” (HR. Nasai 2429).

Penggalan hadits: Rasulullah Saw terbiasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah. Kalimat ini menunjukkan bahwa puasa Arafah termasuk rutinitas beliau. Dan sesuatu itu disebut rutinitas jika dilakukan beberapa kali.

Berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa bulan Dzulhijjah tahun ke-9 H, Abu Bakar berhaji, dan pada Dzulhijjah tahun ke-10 H, Nabi Saw berangkat haji.

Andai puasa Arafah harus dilakukan bertepatan dengan kegiatan wukuf di Arafah, dan kita menganggap bahwa haji yang dilakukan Abu Bakar juga ada wukuf di Arafah, berarti puasa Arafah yang dilakukan Nabi Saw baru sekali. Tepatnya, ketika hajinya Abu Bakar ra. Dan semacam ini tidak tepat jika disebut kebiasaan.

Dengan demikian, aktifitas wukuf di Arafah bukanlah penyebab adanya puasa Arafah, karena Rasulullah Saw puasa Arafah tahun ke-2 sampai tahun ke-9 Hijriyah belum ada pelaksanaan wukuf di Arafah, atau sekitar 8 kali puasa arafahnya beliau tidak berbarengan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.

Karena itu, kami berpendapat, bahwa puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai daerah masing-masing. Sekalipun tidak bertepatan dengan kegiatan wukuf di Arafah. Karena puasa Arafah tidak ada kaitannya dengan kegiatan wukuf di Arafah.

 Wallahu a'lam

 



[1] Menurut hadits di atas, Rasulullah Saw sebelum hijrah ke Madinah pernah melakukan ibadah haji, berarti haji yang dilakukan Rasul Saw adalah dalam rangka mengikuti millah Ibrahim as, karena saat itu ibadah haji belum disyariatkan. Berkenaan dengan hadits di atas, telah dilakukan penelitian di beberapa kitab syarahnya untuk mengetahui apakah setelah disyariatkan puasa Arafah di Madinah, Rasul Saw mencari tahu waktu pelaksanaan wukuf yang dilakukan orang jahiliyah untuk dijadikan pedoman pelaksanaan puasa Arafah beliau. Ternyata informasi tersebut tidak ditemukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puasa Arafahnya Rasul Saw saat itu tidak berpatokan kepada waktu pelaksanaan wukuf di Arafah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar