Sabtu, 20 Agustus 2022

Hukum Bemakmum kepada Imam yang Tidak Membaca Basmalah

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya shalat bermakmum kepada imam yang tidak membaca basmalah.

Jawab:

Menurut Imam Nawawi ada empat pendapat tentang masalah ini:

اَلْاِقْتِدَاءُ بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ، وَلَا إِيْجَابَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ، وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا تَرْتِيبِ الْوُضُوءِ وَشِبْهِ ذَلِكَ. وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ الْإِمَامِ صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ، دُونَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ عَكْسِهِ، لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفُرُوعِ، فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:

“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab lain itu contohnya seperti orang yang menganut madzhab Syafi’i bermakmum dengan orang yang mengikuti madzhab Hanafi, atau Maliki yang tidak membaca basmalah ketika membaca surat Al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi SAW, tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan semisalnya. Prinsipnya adalah bahwa shalatnya imam itu sah menurut keyakinan pihak imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena terdapat perbedaan di antara keduanya dalam hal-hal furu`. Dalam konteks ini ada empat pendapat.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, tt, juz, 4 h. 182)

أَحَدُهَا- اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ، اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ

 

“(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh oleh al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

 

وَالثَّانِي- لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ، لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ، فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ

 

“(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Isfarayini karena jika imam melakukan sesuatu yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajbannya maka ia seperti tidak melakukannya. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

 

وَالثَّالِثُ-- إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ، وَإِنْ تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ

 

“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai  kesahan shalat atau kita meragukan dalam meninggalkannya maka tidak sah bermakmum kepadanya.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

 

وَالرَّابِعُ-- وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ، قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ اَلْمَرْوَزِيُّ، وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ، وَالْبَنْدَنِيجِيُّ، وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ، وَالْأَكْثَرُونَ، إِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ، وَاِنْ تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ

 

“(Empat) yaitu pendapat yang paling sahih yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (madzhab syafi’i). (Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan semua hal yang menjadi syarat kesahan shalat menurut pandangan kita atau kita meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.”  (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar