Selasa, 11 April 2023

Hadis Shalat Tasbih Palsu: Benarkah?

Hadis Shalat Tasbih

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ : يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلَا أُعْطِيكَ؟ أَلَا أَمْنَحُكَ؟ أَلَا أَحْبُوكَ؟ أَلَا أَفْعَلُ بِكَ؟ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ. عَشْرَ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً، فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ : سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ، إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw berkata kepada Abbas bin Abdul Mutthalib: “Hai pamanku, Abbas, maukah Anda saya beri sesuatu? Maukah Anda saya anugerahi sesuatu? Maukah Anda saya hadiahi sesuatu? Maukah Anda saya berbuat sesuatu? Ada sepuluh hal, apabila Anda melakukannya, maka Allah akan  mengampuni dosa-dosa Anda. Dosa-dosa yang dulu maupun yang belakangan. Dosa-dosa yang lama maupun yang baru. Dosa-dosa yang sengaja dilakukan maupun yang tidak sengaja dilakukan. Dosa-dosa yang kecil maupun dosa-dosa yang besar. Dosa-dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun yang dilakukan secara terang-terangan.

Sepuluh hal, yaitu Anda shalat empat rakaat. Setiap rakaat Anda membaca surah al-Fatihah dan sebuah surah. Apabila Anda selesai membaca pada rakaat pertama dan Anda masih berdiri, bacalah tasbih “Subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar”, sebanyak lima belas kali. Kemudian Anda ruku', dan bacalah tasbih tadi ketika Anda sedang ruku’ sepuluh kali. Kemudian Anda angkat kepala dari ruku', dan bacalah tasbih tadi sepuluh kali. Selanjutnya Anda sujud, dan bacalah waktu sujud tasbih tadi sepuluh kali. Kemudian angkat kepala Anda dari sujud, dan bacalah tasbih tadi sepuluh kali. Kemudian Anda sujud lagi, dan bacalah tasbih sepuluh kali. Kemudian Anda angkat kepala dan bacalah tasbih sepuluh kali.

Maka bacaan tasbih itu ada tujuh puluh lima kali untuk setiap rakaat. Anda kerjakan hal itu dalam empat rakaat. Apabila Anda mampu, kerjakan shalat itu sekali dalam satu hari. Apabila Anda tidak mampu, kerjakanlah setiap Jum'at. Apabila Anda juga tidak mampu, maka kerjakanlah satu bulan satu kali. Apabila Anda tidak mampu, maka kerjakanlah satu tahun satu kali. Dan apabila Anda juga masih tidak mampu, maka kerjakanlah sekali dalam seumur hidup Anda.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Hakim.

Terburu Memvonis Palsu

Imam Ibnul Jauzi (w. 597 H) terburu-buru menjatuhkan vonis palsu terhadap hadis ini. Beliau menyebutkan hal itu di dalam kitabnya al-Maudhu’at. Hadis shalat tasbih yang dinilai olehnya sebagai palsu itu diambil dari tiga jalur dan semuanya berdasarkan riwayat Imam Ad-Daruquthni.

Dalam jalur pertama terdapat rawi bernama Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani yang dinilai Imam Bukhari sebagai munkarul hadits. Sedangkan Imam Ibnu Hibban menilainya sebagai rawi yang meriwayatkan hadis-hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berturut-turut (mu’dhalat), dan karenanya hadis-hadisnya ditolak.

Pada jalur sanad kedua terdapat rawi bernama Musa bin Abdul Aziz yang dinilai oleh Imam Ibnul Jauzi sebagai rawi majhul (tidak diketahui identitasnya). Sedangkan dalam jalur sanad ketiga terdapat rawi bernama Musa bin Ubaidah yang dinilai oleh Imam Ahmad sebagai rawi yang hadis-hadisnya tidak halal diriwayatkan oleh orang lain. Maka berdasarkan alasan-alasan di atas, Imam Ibnul Jauzi memasukkan hadis shalat tasbih sebagai hadis palsu.

Penilaian yang dilakukan oleh Imam Ibnul Jauzi yang demikian ini menurut para ulama merupakan sikap gegabah (tasahul). Keputusannya ini hanya didasarkan pada riwayat Imam Ad-Daruquthni. Padahal hadis shalat tasbih ini tidak hanya diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni. Selain itu, rawi-rawi yang dinilai sangat lemah oleh Ibnul Jauzi ternyata tidaklah demikian.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam riwayat pertama ada rawi bernama Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani yang dinilai munkarul hadist oleh Imam Bukhari. Ternya Ibnul Jauzi keliru dalam menukil. Dalam kitab al-Afrad karya Ad-Daruquthni tidak disebutkan nama ayah dan nisbat negeri rawi tersebut. Tapi Ibnul Jauzi langsung menyebutnya dengan nama ayah dan nisbat negerinya, sehingga menjadi Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani. Padahal seperti yang terdapat dalam kitab Qurban al-Muttaqin karya Imam Abu Nu’aim dan kitab al-Targhib karya Ibnu Syahin, Shadaqah yang meriwayatkan hadis itu bukanlah Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani, melainkan Shadaqah bin Abdullah Al-Dimasyqi. Shadaqah Al-Dimasyqi ini memang lemah hafalannya, tetapi tetap dinilai tsiqah (kredibel) oleh sejumlah ulama hadis, sehingga hadis yang ia sampaikan dapat meningkat kualitasnya apabila terdapat jalur lain yang sama-sama meriwayatkannya. Berbeda dengan Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani, dia memang matruk al-hadits,yaitu hadisnya dibuang karena ia dituduh dusta ketika ia meriwayatka hadis.

Sedangkan dalam jalur kedua terdapat rawi bernama Musa bin Abdul Aziz yang dinilai majhul (tidak dikenal identitasnya) oleh Ibnul Jauzi. Menurut Az-Zarkasyi, pernyataan Ibnul Jauzi bahwa Musa bin Abdul Aziz tidak dikenal identitasnya tidaklah secara otomatis menjadikan hadis itu palsu. Bisa saja Ibnu Jauzi memang tidak mengenalnya. Tapi ternyata ulama lain, seperti Bisyr Al-Hakam, Abdurrahman, Ishaq bin Abu Israil, Zaid bin Al-Mubarak, dan lain-lain mengetahui siapa Musa bin Abdul Aziz itu. Bahkan Imam Ibnu Ma’in dan Imam An-Nasa’i mengatakan la ba’sa bih, yakni Musa bin Abdul Aziz itu baik-baik saja, tidak ada masalah.

Imam Ibnu Hibban juga menilai Musa bin Abdul Aziz ini sebagai rawi tsiqah (kredibel) dan banyak ahli hadis yang meriwayatkan hadis darinya. Imam Bukhari, misalnya, meriwayatkan hadis shalat tasbih ini dari Musa bin Abdul Aziz dalam kitabnya Qira’ah al-Ma’mum Khalf al-Imam.

Sedangkan untuk jalur ketiga, Imam Ibnul Jauzi mengatakan bahwa di dalamnya terdapat rawi bernama Musa bin Ubaidah, yang dinilai oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai rawi yang hadisnya tidak halal diriwayatkan. Benarkah demikian?

Memang, Musa bin Ubaidah banyak dinilai oleh para ulama sebagai rawi yang lemah, namun tidak ada kejelasan bahwa dia itu pendusta (kadzdzab). Ibnul Araq Al-Kannani menegaskan bahwa Musa bin Ubaidah bukanlah pendusta. Bahkan Ibnu Sa’ad menilainya sebagai rawi tsiqah (kredibel). Karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Musa bin Ubaidah ini tidak dapat dikatakan palsu.

Hadis Shahih

Banyak sekali para ulama yang menilai hadis shalat tasbih itu sebagai hadis shahih, atau minilai hasan. Di antaranya adalah Imam Bukhari dalam kitab Qira’ah al-Ma’mum Khalf al-Imam, Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Mandah, Abul Hasan bin al-Mufadhdhal, al-Mundziri, Ibn Ash-Shalah, An-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, al-Subuki, al-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus, al-Ajuri, al-Khatib al-Baghdadi, Abu Said bin al-Sam’ani, Abu Musa al-Madini, Imam Muslim, Abdullah bin al-Mubarak, Shalah al-Din al-Ala’i, Siraj al-Din al-Bulqini, al-Zarkasyi, al-Suyuthi, Ibn ‘Araq al-Kannani, dan lain-lain.

Sedangkan para ahli hadis masa kini yang menilainya shahih atau minimal hasan adalah Al-Hafizh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Prof. Muhammad Musatafa Azami, Muhamad Fuad Abdul Baqi, bahkan ulama hadis dari kalangan Wahabi, yakni Syaikh Nashiruddin Al-Albani menilainya sebagai hadis shahih.

Diamalkan Para Ulama

Imam Al-Hakim menuturkan, di antara faktor yang memperkuat keshahihan hadis shalat tasbih ini adalah hadis ini diamalkan oleh imam-imam ahli hadis. Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa Imam Abdullah bin al-Mubarak (w. 80 H) selalu menjalankan shalat tasbih. Begitu pula para ulama shalihin. Hal ini merupakan faktor yang memperkuat otentisitas hadis ini.

Aus bin Abdullah al-Bashri, seorang tabi’in yang tsiqah, juga selalu menjalankan shalat tasbih. Apabila dikumandangkan adzan zhuhur, beliau selalu datang ke masjid. Beliau kemudian berkata pada yang adzan, “Jangan cepat-cepat mengumandangkan iqamah.” Beliau kemudian menjalankan shalat tasbih antara adzan dan iqamah. Keterangan ini diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dengan sanad yang hasan.

Para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i juga menegaskan bahwa menjalankan shalat tasbih itu sunnah. Di antara mereka yang menyatakan demikian adalah Syekh Abu Hamid, al-Muhamili, begitu juga putranya Imam al-Haramain, al-Ghazali, al-Qadhi, al-Baghawi, al-Mutawalli, Zahir bin Ahmad al-Sarkhasi, al-Rafi’i dan lain-lain.

Kesimpulan

Kepada kaum Muslimin yang sudah biasa menjalankan shalat tasbih, silakan diteruskan mengamalkannya, karena hadits tentang shalat tasbih itu shahih sehingga dapat dijadikan dalil untuk beribadah. Sedangkan bagi mereka yang tidak mau melakukan shalat tasbih, juga silakan, karena shalat tasbih itu bukanlah shalat yang wajib ditunaikan.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar