Kamis, 26 Januari 2023

Memperbanyak Dzikrullah dan Tilawah Al-Qur’an (Bagian Kedua)

Dalam riwayat lain, Makhul menegaskan, “Menyebut dan mengingat nama Allah adalah obat, sedangkan menyebut dan mengingat nama sesama manusia adalah penyakit.”

Di sini dzikrullah berfungsi sebagai obat, yakni obat bagi penyakit hati yang mengeras. Sungguh tidak ada obat lain yang dapat melembutkan kembali hati yang telah membeku kecuali dzikrullah.

Salman Al-Farisi suatu ketika didatangi seseorang yang hendak mengajukan pertanyaan padanya, “Wahai Salman, beritahukan padaku amal apakah yang paling istimewa?” Salman menjawab, “Tidakkah engkau membaca surat Al-Ankabut [29] ayat 45? Di sana Allah Swt. menegaskan: ‘Sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar keistimewaannya daripada ibadah yang lain.’”

Bahkan Nabi Saw. memberikan perbedaan yang jelas antara orang yang berdzikir dengan orang yang tak pernah berdzikir. Sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan bersumber dari Abu Musa Al-Asy’ari ra menyebutkan:

“Perumpamaan bagi orang yang selalu mengingat Allah dengan orang yang tidak mau mengingat Allah, adalah ibarat perbedaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati.”

Seorang hamba yang membiasakan dirinya berdzikir kepada Allah adalah orang yang mendapatkan kesempatan besar untuk berjumpa dengan Allah di hari akhir kelak. Di dunia ini, hamba yang demikian itu akan terselamatkan dari membicarakan aib orang lain, menjelek-jelekkan orang lain, memfitnah, mengadu domba dan berbagai amal buruk lainnya. Dengan dzikrullah berarti ia tidak memberi kesempatan pada dirinya untuk membicarakan hal-hal yang dilarang Allah. Ia memfokuskan lahir-batinnya untuk menyebut nama Allah dan mengingat-Nya. Hatinya yang senantiasa terbuka untuk selalu berdzikir kepada Allah menjadi sebab terbukanya jalan lurus yang menghantarkannya kehadhirat Allah Swt. Tidak ada anugerah yang lebih bernilai selain pertemuan dengan Allah Swt. 

Baca juga: Memperbanyak Dzikrullah dan Tilawah Al-Qur’an (Bagian Pertama)

Secara umum, penyakit hati itu terbagi ke dalam dua bentuk: penyakit syubhat dan penyakit syahwat. Dua bentuk penyakit inilah yang menggerogoti hati, dan lambat laun dapat membuatnya mati. Yang pertama mengarahkan hati untuk menerima segala ajaran yang meragukan, sementara yang kedua berakar pada keinginan nafsu yang tak dapat dikendalikan. Sesungguhnya kedua bentuk penyakit itu ada obatnya. Melalui Al-Qur’an Allah menyediakan obat yang dapat menuntaskan penyakit tersebut hingga ke akar-akarnya. Al-Qur’an telah menjadi sumber keterangan yang sangat jelas perihal yang hak dan yang batil, penghapus setiap penyakit yang menimbulkan keraguan dan penyimpangan dari ilmu yang hakiki, serta memberikan pandangan dan pemahaman yang paling benar tentang Islam, yang pada gilirannya menjadikan seorang hamba dapat menerima setiap kenyataan yang ada. Karena itu, barangsiapa yang menginginkan dirinya mampu melihat dan dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, maka jalan terbaik yang harus ditempuhnya adalah mendalami dan meresapkan nilai-nilai kebenaran Al-Qur’an dalam jiwanya.

Terhadap penyakit syahwat, Al-Qur’an menawarkan resep zuhud  terhadap dunia. Dengan berzuhud terhadap dunia akan mampu mengikis habis seluruh keserakahan yang menggelayuti hati. Hidup zuhud adalah hidup yang mengendalikan kehendak syahwat duniawi, mendorong hati untuk lebih mengutamakan kehidupan akhirat, dan memotivasi jiwa untuk meraih segala keabadian yang ada di seberang dunia. Memperbanyak ibadah melalui bacaan Al-Qur’an dapat menjadi jalan bagi seorang hamba untuk meraih cinta Allah dan Rasul-Nya.

Khabab bin Arat ra pernah berkata, “Hendaklah engkau berusaha semaksimal mungkin untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jadikanlah kecintaanmu kepada Al-Qur’an sebagai jalan bertaqarrub kepada Allah, karena Allah sangat mencintai firman-firman-Nya.”

Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Barangsiapa mencintai Al-Qur’an, berarti ia telah mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Dalam hal ini Al-Qur’an berfungsi sebagai media bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semakin sering kita membaca Al-Qur’an, semakin tumbuh kecintaan kepadanya. Kecintaan kepada Al-Qur’an, seperti yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud, sama artinya kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Melalui Al-Qur’an seorang hamba berkomunikasi dengan Tuhan-nya. Komunikasi yang terjalin dengan baik akan menghasilkan hubungan yang sangat dekat, dalam hal ini hubungan antara Sang Khalik dengan makhluk-Nya. Dengan senantiasa menggetarkan dzikrullah di dalam hati, maka hati akan terhindar dari berbagai penyakit dan hasil akhirnya adalah lahirnya ketentraman di dalam jiwa. Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d [13] ayat 28:

“…Hati mereka menjadi tentram dengan dzikrullah. Ingatlah, hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenteram.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar