Selasa, 31 Januari 2023

Tolok Ukur Mendapatkan Satu Rakaat

Dalam madzhab Syafi’i shalat berjamaah dihukumi fardhu kifayah untuk dilakukan, sehingga di setiap daerah seharusnya ada yang menunaikan shalat berjamaah agar penduduknya terhindar dari perbuatan dosa. Saat ini semangat untuk menunaikan shalat berjamaah terus meningkat, dan semoga akan terus meningkat. Yang sering memunculkan pertanyaan adalah apa yang menjadi tolok ukur di dalam shalat berjamaah bahwa seseorang itu telah mendapatkan satu rakaat.

Pertanyaan yang demikian itu sudah mendapat jawaban dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ

“Barangsiapa yang mendapatkan ruku’ (bersama imam), maka ia telah mendapatkan satu rakaat.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Melalui hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa seseorang yang bisa mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia dipandang telah memperoleh satu rakaat. Bahkan jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali berpendapat ruku’ yang dimaksud meski hanya sesaat ruku’ bersama imam, ia telah mendapat satu rakaat. Dalam hal ini madzhab Syafi’i menambahkan tuma’ninah dalam ruku’ tersebut. Orang yang bisa ruku’ secara tuma’ninah bersama imam, maka ia mendapat satu rakaat shalat.

Dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan:

قال: (و) بإدراك (ركوع محسوب تام) بأن يطمئن قبل ارتفاع الإمام عن أقل الركوع وهو بلوغ راحتيه ركبتيه (يقينا) فلو لم يطمئن فيه قبل ارتفاع الإمام منه أو شك في حصول الطمأنينة فلا يدرك الركعة

“Dan (rakaat bisa di dapatkan) dengan menemukan ruku’ yang sempurna. Dengan gambaran makmum dapat thuma’ninah sebelum imam mengangkat tubuhnya pada batas minimal ruku’, yaitu sampainya kedua telapak tangannya pada dua lutut. Ruku’ dari makmum ini dilakukan olehnya dengan yakin. Jika makmum tidak thuma’ninah dalam ruku’nya sebelum imam mengangkat tubuhnya dari ruku’ atau makmum ragu atas thuma’ninah yang ia lakukan, maka ia tidak mendapatkan rakaat.” (Fathul Muin, hal. 16)

Lalu, bagaimana dengan surat al-Fatihah? Bukankah di dalam shalat al-Fatihah harus dibaca?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ

“Tidak sah shalat orang yang di dalamnya tidak membaca ummil qur’an (surat al-Fatihah).” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dalam kajian fiqih, makmum dengan kondisi yang demikian itu termasuk makmum masbuq. Ia tidak wajib membaca surat al-Fatihah disebabkan bacaannya ditanggung oleh imam. Hal yang harus ia lakukan adalah melakukan takbiratul ihram, kemudian langsung ruku’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ اْلإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ

“Orang yang memiliki imam, maka bacaan (al-Fatihah) imam adalah bacaan baginya.” (HR Imam Ibnu Majah)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tolok ukur seseorang mendapatkan satu rakaat adalah ketika ia bisa ruku’ bersama imam, yang dalam madzhab Syafi’i dipersyaratkan dengan tuma’ninah di dalam ruku’ tersebut. Sepanjang 14 abad fiqih islam, para ulama sepakat untuk menyatakan hal yang demikian itu, meskipun makmum tidak sempat membaca surat al-Fatihah.

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar