Tahlilan sebagaimana yang
dipahami secara umum oleh masyarakat saat ini pada hakikatnya adalah aktivitas
berdzikir bersama yang dilakukan oleh sekelompok orang. Sejumlah orang berkumpul, lalu membaca sejumlah kalimat dzikir kepada Allah
yang satu di antaranya adalah kalimat tahlil, laa ilaaha illallaah. Tahlilan
pada dasarnya adalah majelis dzikir. Di dalam sebuah majelis dzikir ada banyak
kalimat dzikir yang bisa dilantunkan. Sekelompok orang bisa secara bersama-sama
membaca tasbih, takbir, tahmid, istighfar, tahlil dan kalimat-kalimat
lainnya yang mengingatkan mereka kepada Allah Swt. Amaliah
semacam itu adalah sunnah, bukan bid’ah.
Perhatikanlah orang-orang
yang sedang mengadakan tahlilan. Apakah ada di dalamnya mereka melantunkan
bacaan-bacaan yang dilarang oleh syari’at? Sama sekali tidak. Di dalam tahlilan
yang dibaca adalah ayat-ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, takbir, tahlil,
shalawat dan doa-doa lainnya kepada Allah Swt. Semua
yang dibaca adalah dzikir-dzikir yang memiliki landasan syar’i. Tidak ada satu pun
bacaan yang di dalamnya mengandung kemusyrikan seperti yang dituduhkan oleh
orang-orang yang dangkal pemahamannya tentang syari’at Islam. Jika orang-orang
yang anti tahlilan mengatakan bahwa bacaan-bacaan dalam majelis tahlil itu
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka mereka harus mendatangkan
dalilnya. Jika mereka tidak mampu menunjukkannya, maka mereka harus
mempertanggungjawabkan tuduhan mereka itu kelak di hadapan Allah Yang Maha
Adil.
Ada pun
jika majelis dzikir tersebut dikaitkan dengan kenduri arwah, yakni peringatan
hari-hari tertentu dari kematian seseorang, maka hal itu adalah sesuatu yang diperbolehkan, karena berdzikir secara
bersama-sama kapan pun boleh dilakukan kecuali di tempat-tempat yang terlarang
untuk berdzikir.(J.R)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar