Senin, 26 Desember 2022

Belajar Mengikhlaskan Amal (1)

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs, ‘Umar bin Khaththab ra. yang berkata, “Aku pernah mendengar Rasul Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya. Maka, barangsiapa yang niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima Allah dan Rasul-Nya; barangsiapa yang niat hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu pun akan sampai kepada apa yang diniatkannya.’” (HR Imam Bukhari-Muslim)

Sungguh, niat merupakan tolok ukur lurusnya suatu amal perbuatan. Para ulama membagi amal yang disertai niat itu menjadi tiga bagian. Pertama: Amal yang dikerjakan dengan niat karena rasa takut kepada Allah. Amal yang demikian ini disebut amalnya para budak. Kedua: Amal yang dikerjakan dengan niat untuk mencari pahala dan meraih Surga. Amal yang demikian ini disebut amalnya para pedagang. Ketiga: Amal yang dikerjakan dengan niat karena malu pada Allah, karena dorongan rasa syukur pada-Nya. Pada bagian ketiga ini orang yang beramal tetap memandang bahwa dirinya belum beramal secara maksimal. Ia juga menyimpan rasa takut kalau-kalau amal yang dikerjakannya itu tidak diterima oleh Allah Swt.

Bentuk amal yang ketiga inilah yang diisyaratkan Nabi ketika beliau melaksanakan qiyamul lail hingga membengkak kedua telapak kakinya. Tatkala ‘Aisyah ra. menanyakan kepada Nabi perihal itu, beliau menjawab, “Tidakkah sudah menjadi hal yang wajar bila aku menjadi hamba yang bersyukur kepada-Nya?”

Imam Al-Ghazali rahimahullah pernah ditanya manakah yang lebih utama, ibadah yang diiringi rasa takut atau rasa harap. Beliau menjawab, “Lebih utama ibadah yang diiringi rasa harap. Karena harapan dapat melahirkan kecintaan, sedangkan rasa takut dapat menimbulkan keputusasaan.”

Begitu banyak orang yang tidak menyimpan rasa cinta kepada Allah disebabkan ia tidak banyak berharap pada-Nya. Lihatlah mereka yang menggantungkan harapnya kepada dunia, benih cinta terhadap dunia tersemai subur di dalam hatinya. Mereka relakan hidupnya bersama dunia. Tidak ada rasa bosan dalam hati mereka ketika melakukan urusan-urusan dunia. Aturan yang mereka pedomani adalah aturan dunia. Padahal aturan-aturan Tuhan tidak mendapat tempat di dalamnya.

Sebaliknya, bagi hamba-hamba Allah yang setiap saat menaruh harap pada-Nya akan merasakan jalinan cinta antara makhluk dan Khalik. Semakin kuat gantungan harapan itu kepada Allah, semakin sering si hamba menemui-Nya, dan semakin mekar cinta itu memenuhi setiap sudut jiwanya. Ia akan merasakan indahnya bersama Tuhan. Kebersamaan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kebersamaan abadi yang melahirkan kenangan indah yang mendarah daging dalam diri setiap hamba Allah yang mencintai-Nya. Itulah hasil ibadah yang diiringi rasa harap, ibadah dengan sentuhan cinta.

Secara keseluruhan, sudah selayaknya dalam diri seorang hamba Allah rasa takut, rasa harap dan rasa syukur ini berpadu. Perpaduan ketiga faktor ini akan melahirkan ibadah yang secara total tertuju kepada Allah, yang dalam bahasa agama disebut ikhlas.

Bermacam-macam keadaan hamba dalam beramal. Di antara mereka ada yang beramal dengan diniatkan untuk mencari dunia dan akhirat secara bersamaan. Sebagian ulama mengatakan bahwa amal yang dikerjakan dengan niat demikian itu tertolak. Dalil yang mereka ajukan adalah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi, yang di dalamnya Rasul Saw. bersabda:

“Allah Swt. berfirman, ‘Akulah yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa beramal dan di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan yang lain, maka Aku berlepas diri darinya.’”

Karena Allah adalah Dzat yang tidak membutuhkan apa pun, maka Dia akan belepas diri dari setiap amal yang di dalamnya ada penyekutuan terhadap-Nya.

Bersambung....

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar