Jumat, 30 Desember 2022

Belajar Mengikhlaskan Amal (Terakhir)

Sabda Nabi Saw.: “Maka barangsiapa hijrahnya ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan diterima Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya ditujukan untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu akan sampai pada apa yang diniatkannya.”

Berhijrah, arti asalnya adalah meninggalkan. Istilah hijrah dipakai untuk menyebut beberapa hal: Pertama: hijrah sahabat dari Mekah ke Habasyah yang terjadi, menurut Al-Baihaqi, pada tahun ke-5 setelah diutusnya Rasul Saw. Kedua: hijrah dari Mekah ke Madinah yang terjadi pada tahun ke-13 setelah diutusnya Rasul Saw. Ketiga: hijrahnya berbagai kabilah kepada Rasul Saw. untuk belajar syariat, kemudian kembali ke kaumnya untuk mengajarkan syariat tersebut. Keempat: hijrahnya penduduk Mekah yang masuk Islam untuk menjumpai Nabi Saw. kemudian kembali kepada kaumnya. Kelima: hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Keenam: suami yang pisah ranjang dengan istrinya yang secara nyata berbuat nusyuz, termasuk dalam istilah ini menghindarkan diri dari pelaku maksiat. Ketujuh: meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah Swt.

Ibnul ‘Arabi menggunakan kata ‘hijrah’ untuk menunjuk kepada 15 hal: meninggalkan Darul Harb menuju Darul Islam, meninggalkan pelaku bid’ah, meninggalkan negeri yang didominasi oleh hal-hal yang haram, menghindari tekanan fisik, meninggalkan negeri yang terserang wabah penyakit, keluar dari wilayah yang di dalamnya hak kepemilikan harta benda terancam, bepergian untuk melakukan pengamatan agar memperoleh pelajaran, perjalanan haji, perjalanan jihad, perjalanan mencari penghidupan, perjalanan untuk berdagang/bekerja, mencari ilmu, mencari lingkungan yang baik, perjalanan ke daerah perbatasan untuk berjaga-jaga, dan berkunjung kepada saudara-saudara seiman.

Dalam sabda Nabi Saw., “Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya”, terkandung maksud bahwa secara syariat hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Di sini tersimpan makna keikhlasan. Berhijrah atas dasar perintah Allah dan Rasul-Nya dan berhijrah ke arah yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Pada kelanjutan Sabda Nabi Saw. tersebut, “Dan barangsiapa hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya…dst.”, dalam hal ini diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang berhijrah dari Mekah ke Madinah, padahal ia tidak meniatkan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Ia hanya ingin menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais, sehingga ia diberi gelar Muhajir Ummu Qais. 

Baca juga: Belajar Mengikhlaskan Amal (3)

Dalam kasus ini lelaki itu dicela karena secara lahiriah ia ikut hijrah dari Mekah ke Madinah, namun ia menyembunyikan dalam hatinya sesuatu yang berbeda dengan yang ditampakkannya. Dengan itu pula diqiyaskan seseorang yang secara lahiriah meninggalkan kampung halamannya guna melaksanakan ibadah haji, sementara ia menyembunyikan keinginan lain yang sesungguhnya, yakni untuk berniaga. Demikian pula orang yang bepergian untuk menuntut ilmu, di dalam dirinya tersembunyi keinginan lain yang sesungguhnya, yakni pekerjaan, jabatan, dan kedudukan. Maka terhadap hal yang demikian itu Nabi Saw. bersabda, “Hijrahnya akan sampai kepada apa yang diniatkannya.”

Berdasarkan hadits ini, maka tidak ada pahala bagi orang yang menunaikan ibadah haji dengan niat semata-semata berniaga atau berwisata. Namun, apabila niatnya ibadah haji sedangkan berwisata atau berniaga hanyalah mengiringi saja, maka ia tetap memperoleh pahala. Tapi, tentu saja pahalanya tidak akan sama dengan orang yang memurnikan niatnya semata-mata hanya untuk menunaikan apa yang diperintahkan Allah padanya. Apabila yang mendorong kepergiannya adalah kedua-duanya, maka ada kemungkinan ia mendapatkan pahala karena kepergiannya tidak semata-mata untuk dunia; tetapi juga ada kemungkinan ia tidak akan memperoleh pahala, karena telah mencampur amalan akhirat dengan amalan dunia.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar