Selasa, 27 Desember 2022

Belajar Mengikhlaskan Amal (3)

Ketika Nabi Saw. bersabda “Sesungguhnya, amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niat”, maka yang dimaksud adalah amal ketaatan. Sementara amalan-amalan yang mubah tidak termasuk di dalamnya.

“Ikhlas tidak berlaku pada amal yang mubah, makruh, terlebih lagi amal yang diharamkan Allah,” kata Al-Harits Al-Muhasibi. Alasannya adalah, karena amalan-amalan tersebut tidak mengandung pendekatan diri kepada Allah, apalagi membawa manusia untuk lebih dekat kepada-Nya.

Sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya, amalan-amalan itu hanyalah…”, mengandung pengertian bahwa yang menjadi batasan sah, benar, diterima atau sempurnanya amal adalah niat. Bila seseorang memberi makan hewan ternaknya dengan niat melaksanakan perintah Allah, maka ia mendapat pahala. Tapi, bila ia niatkan agar ternaknya itu menjadi gemuk sehingga ketika dijual akan laku dengan harga yang lebih mahal, maka ia tidak diberi pahala. Tatkala seseorang yang akan tidur malam terlebih dahulu menutup pintu dan mematikan lampu, bila ia melakukan hal itu karena perintah Allah maka ia memperoleh pahala. Namun jika bermaksud lain maka ia tak mendapatkan pahala. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah yang disebutkan oleh Al-Qarafi.

Menghendaki sesuatu dan dilanjutkan dengan tindakan, itulah yang menurut syara’ disebut niat. Bila hanya menghendaki tapi tidak ditindaklanjuti, maka yang seperti itu disebut ‘azm. Niat disyariatkan guna membedakan mana yang sekedar kebiasaan dan mana yang bernilai ibadah. Selain itu, niat juga digunakan untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain.

Seseorang yang sedang duduk di masjid hanya akan dipandang sebagai sesuatu yang biasa (kebiasaan) bila dimaksudkan untuk istirahat, namun hal itu akan bernilai ibadah bila diniatkan i’tikaf. Mandi pun demikian. Mandi akan dapat dipandang sebagai kebiasaan atau sebagai ibadah bergantung pada niat ketika melaksanakannya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, Nabi Saw. pernah ditanya, “Manakah yang berada di jalan Allah di antara tiga orang yang ikut berperang: yang lantaran ingin dilihat orang, lantaran gengsi, dan yang lantaran keberanian?” Beliau bersabda: “Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka ia berada di jalan Allah Ta’ala.”

Artinya, di sini niat berfungsi untuk membedakan antara kebiasaan dengan ibadah. Bentuk zahir dari amaliahnya bisa saja sama, namun keadaan batin di mana niat berada akan sangat menentukan apakah yang kita kerjakan itu bernilai ibadah atau tidak. 

Baca juga: Belajar Mengikhlaskan Amal (2)

Ketika seorang hamba melaksanakan shalat empat rakaat, maka hal itu bisa dipandang sebagai shalat Isya. Juga bisa disebut sebagai shalat sunnah. Yang membedakannya adalah niat. Tidak semua shalat empat rakaat yang dikerjakan pada waktu Isya pasti merupakan shalat Isya. Boleh jadi shalat itu adalah shalat sunnah. Bagaimana hal itu bisa dibedakan, tergantung pada niat. Maka di sini, niat berfungsi untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain.

Dalam sabda Nabi Saw. “Dan setiap orang hanya akan memperoleh sesuai dengan yang diniatkannya” terkandung dalil bahwa dalam ibadah tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. Setiap individu mengemban tugas ibadah sendiri dalam dirinya yang tak bisa diwakilkan oleh orang lain. Ia akan memperoleh apa yang ia usahakan. Namun dalam hal ini ada pengecualian, yakni dalam membagi zakat dan menyembelih hewan qurban. Dua macam ibadah ini boleh diwakilkan meskipun seseorang itu memiliki kemampuan untuk melaksanakannya sendiri. Ada pun dalam ibadah haji, hal itu tidak diperbolehkan apabila seseorang itu memiliki kemampuan untuk melaksanakannya sendiri.

Bersambung...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar