Selasa, 27 Desember 2022

Belajar Mengikhlaskan Amal (2)

Al-Harits Al-Muhasibi adalah salah seorang ulama yang berpendapat bahwa amal yang diniatkan untuk dunia dan akhirat secara bersamaan tertolak. Dalam kitabnya Ar-Ri’ayah ia memberikan definisi ikhlas. Ia mengatakan bahwa ikhlas adalah ketika engkau melaksanakan amal ketaatan dengan tujuan untuk mencari ridha-Nya, bukan mencari selain itu. Totalitas ibadah yang ditujukan semata-mata untuk meraih ridha Allah merupakan syarat utama keikhlasan. Bila ada tujuan lain selain ridha Allah, maka amal yang dilakukan itu tidak bisa dikatakan sebagai amal yang ikhlas.

Dalam kitab itu, Al-Harits Al-Muhasibi juga berbicara tentang sifat riya’. Menurut pendapatnya riya’ itu terbagi dua, yakni beramal dengan harapan memperoleh pujian manusia dan beramal diiringi kehendak untuk memperoleh pujian manusia sekaligus ridha dari Allah Swt. Kedua macam riya’ itu, menurutnya, dapat memusnahkan pahala amal yang dilakukan.

Ulama lainnya yang memiliki pendapat senada dengan Al-Harits Al-Muhasibi adalah Abu Nu’aim. Dalam kitabnya Al-Hilyah ia menjelaskan hal itu. Dalil yang digunakannya adalah firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr [59] ayat 23:

سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

“Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Atas dasar firman Allah tersebut ia mengatakan, disebabkan Allah adalah Dzat Yang Maha Suci dari segala yang dipersekutukan pada-Nya, maka Dia pun akan menolak amal yang di dalamnya ada sesuatu yang dipersekutukan dengan-Nya.

Di samping ulama yang secara mutlak mengatakan tertolak suatu amal yang di dalamnya ada niat untuk menggapai kepentingan dunia dan akhirat secara bersamaan, ada pula ulama yang berpendapat sedikit berbeda. 

Baca juga: Belajar Mengikhlaskan Amal (1)

As-Samarqandi, misalnya, ia berkata, “Apabila suatu amal dilaksanakan dengan niat karena Allah, pastilah amal itu akan diterima. Namun apabila amal tersebut ditujukan untuk selain-Nya, maka ia akan tertolak.” As-Samarqandi memberikan contoh seseorang yang melaksanakan shalat karena hendak menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah padanya. Namun, dalam pelaksanaan shalat tersebut, ia memperpanjang bacaan dan rukun-rukunnya dengan harapan mendapat pujian dari manusia. Maka dalam hal seperti ini, shalatnya yang ditujukan untuk Allah diterima, sedangkan yang ditujukan untuk menusia ditolak.

Syekh ‘Izzuddin bin Abdus Salam berkata, “Seseorang yang meniatkan shalatnya karena Allah sekaligus untuk manusia, maka shalatnya tidak diterima, karena penyekutuan terjadi pada pangkal perbuatan.”

Pangkal dari setiap perbuatan atau amal adalah niat. Bila di dalam niat terselip sesuatu selain Allah, maka menurut beliau amal itu tertolak, karena terselipnya sesuatu selain Allah itu berada di pangkal perbuatan, yakni niat. Namun, bila dalam proses amal itu teriring keinginan untuk memperoleh kepentingan duniawi, maka amal itu bisa saja diterima atau pun ditolak. Diterima, karena amal yang dilakukan itu tidak bisa sepenuhnya dikatakan demi kepentingan dunia. Ditolak, karena dalam amal itu bercampur antara kepentingan akhirat dan kepentingan dunia.

Perbuatan lainnya yang dapat memusnahkan pahala amal selain riya’ adalah tasmi’. Artinya memperdengarkan, yaitu seseorang yang melaksanakan amal di suatu tempat yang sunyi, lalu ia menceritakan amal itu kepada orang lain.

Terhadap perbuatan ini Nabi Saw. bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim:

“Barangsiapa menyiarkan amal baiknya, Allah pasti menyiarkan aibnya. Barangsiapa melakukan riya’, niscaya Allah memperlihatkan keburukannya.”

Para ulama menjelaskan, bila yang melakukan tasmi’ itu adalah seorang ulama dalam rangka memberikan motivasi kepada para jamaah agar mau melaksanakannya, maka hal itu tidaklah mengapa. Tidak ada halangan bagi mereka untuk berbuat yang demikian itu, asalkan tetap menjaga niat dan jangan sampai terjerumus ke arah ketakaburan.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar