Selasa, 13 Juni 2023

Status Hukum Qurban dari Non Muslim

Qurban adalah jenis hewan tertentu yang disembelih mulai hari Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah) dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah).

Dalam realitasnya, saat musim qurban berlangsung, tidak hanya kalangan umat Islam yang berpartisipasi, tapi non muslim juga kadang ikut ambil bagian. Biasanya pengusaha non muslim atau dari kalangan yang lain turut serta menyumbangkan hewan qurban untuk disembelih dan dibagikan pada saat momen hara raya qurban tersebut.

Pertanyaannya, bagaimana status qurban non muslim tersebut? Apa sikap yang harus dilakukan tokoh agama saat dipasrahi hewan qurban dari non muslim?

Berqurban adalah salah satu bentuk ibadah yang membutuhkan niat. Oleh karenanya disyaratkan pelakunya harus seorang muslim. Syekh Muhammad bin Ali Ba’athiyah berkata:

فائدة من شروط النية إسلام الناوي

“Faidah. Di antara syarat-syarat niat adalah Islamnya orang yang niat...” (Ghayah al-Muna Syarh Safinah al-Saja, hal. 159).

Meski tidak sah atas nama qurban, bukan berarti sumbangan hewan qurban yang diberikan oleh non muslim tidak memiliki manfaat sama sekali. Hewan tersebut tetap boleh diterima atas nama sedekah. Dari sedekah itu, non muslim tetap mendapat manfaat pahalanya. Para ulama menegaskan, amalan dari non muslim yang tidak membutuhkan niat, seperti sedekah, dicatat pahalanya untuk sang pelaku dan bisa bermanfaat baginya di kehidupan dunia dengan memperbanyak rezeki, mendapatkan keturunan, kesehatan, dan sebagainya. Bahkan bisa bermanfaat baginya untuk meringankan siksanya di akhirat kelak.

Syekh Sulaiman al-Jamal mengutip sebuah hadits dan menjelaskan maksudnya:

«من أحيا أرضا ميتة فله فيها أجر وما أكلت العوافي» أي طلاب الرزق «منها فهو له صدقة» رواه النسائي وغيره وصححه ابن حبان

“Orang yang menghidupi bumi mati maka ia mendapat pahalanya. Apa yang dimakan para pencari rezeki dari tanah tersebut adalah sedekah untuknya.” (HR al-Nasai dan lainnya, disahihkan oleh Ibnu Hibban).

قوله أي طلاب الرزق) أي من إنسان أو بهيمة أو طير وفيه دليل على أن الذمي ليس له الإحياء لأن الأجر لا يكون إلا للمسلم اهـ. إسعاد اهـ. زيادي

“Ucapan Syekh Zakariya, para pencari rezeki, maksudnya manusia, binatang atau burung. Di dalam hadits tersebut menunjukan bahwa kafir dzimmi tidak diperbolehkan menghidup-hidupi bumi mati, karena pahala tidak dapat didapat kecuali oleh seorang muslim.”

أقول وقد تمنع دلالته على منع إحياء الذمي وقوله فهو له صدقة لا يؤخذ منه التخصيص بالمسلم لأن الكافر له الصدقة ويثاب عليها أما في الدنيا فبكثرة المال والبنين وأما في الآخرة فبتخفيف العذاب كباقي المطلوبات التي لا تتوقف على نية بخلاف ما يتوقف عليها فإنه لا يصح خصوصا

“Aku berkata, petunjuk bahwa hadits tersebut melarang menghidupi bumi mati bagi kafir dzimmi ditolak. Sabda Nabi: maka sedekah baginya; tidak bisa diambil kesimpulan mengkhususkan kepada muslim, sebab orang kafir sah bersedekah dan mendapat pahala atasnya. Adapun di dunia, dengan banyaknya harta dan anak. Adapun di akhirat, dengan diringankan siksa seperti anjuran-anjuran syariat lainnya yang tidak membutuhkan niat, berbeda dengan ibadah yang membutuhkan niat, maka tidak sah dilakukan oleh orang kafir.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 3, hal. 561).

Berkaitan dengan penerimaan hewan qurban dari non muslim, maka hukumnya dibolehkan. Hewan tersebut halal dengan catatan yang menyembelih orang Islam. Dan juga dengan syarat tidak berdampak merugikan umat Islam, seperti ditemukan indikasi kuat adanya konspirasi terselebung untuk menghancurkan umat Islam.

Imam al-Bukhari dalam kitab Sahih-nya menegaskan kebolehan menerima pemberian hadiah dari non muslim dengan mengutip beberapa hadits yang menguatkan pendapatnya.

بَاب قَبُولِ الْهَدِيَّةِ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه سلم هَاجَرَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام بِسَارَةَ فَدَخَلَ قَرْيَةً فِيهَا مَلِكٌ أَوْ جَبَّارٌ فَقَالَ أَعْطُوهَا آجَرَ وَأُهْدِيَتْ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه سلم شَاةٌ فِيهَا سُمٌّ وَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه سلم بَغْلَةً بَيْضَاءَ وَكَسَاهُ بُرْدًا وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

“Bab (kebolehan) menerima hadiah dari orang-orang musyrik. Abu Hurairah berkata dari Nabi bahwa Nabi Ibrahim Hijrah bersama Sarah (istrinya), lalu memasuki daerah yang di dalamnya ada sosok raja atau sang diktator, sang raja berkata, berilah dia hadiah. Nabi Muhammad diberi hadiah kambing yang terdapat racunnya. Abu Hamid berkata; Raja Ayla memberi hadiah kepada Nabi keledai putih dan selimut serta menyurati Nabi di negara mereka,” (HR. al-Bukhari).

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa pendapat al-Bukhari tegas mengenai kebolehan menerima hadiah non muslim. Menurutnya, al-Bukhari secara tidak langsung memvonis lemah riwayat lain yang melarang pemberian non muslim. Dalam Fath al-Bari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:

قوله باب قبول الهدية من المشركين) أي جواز ذلك وكأنه أشار إلى ضعف الحديث الوارد في رد هدية المشرك

“Ucapan al-Bukhari; bab menerima hadiah dari orang-orang musyrik. Maksudnya kebolehan menerimanya. Al-Bukhari seakan-akan memberi isyarat tentang lemahnya hadits yang menolak hadiah orang musyrik.” (Fath al-Bari, 5/230).

Beliau juga mengutip beberapa pendapat ulama yang mengomparasikan beberapa hadits yang bertentangan mengenai masalah tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah bahwa hadits yang melarang menerima pemberian non muslim dalam konteks pemberian tersebut terindikasi kuat bertujuan menghancurkan orang Islam atau berdampak merugikan mereka. Sedangkan hadits yang membolehkannya diarahkan kepada tujuan menghibur dan kepentingan mendakwahkan Islam.

وأورد المصنف عدة أحاديث دالة على الجواز فجمع بينها الطبري بأن الامتناع فيما أهدي له خاصة والقبول فيما أهدي للمسلمين وفيه نظر لأن من جملة أدلة الجواز ما وقعت الهدية فيه له خاصة وجمع غيره بأن الامتناع في حق من يريد بهديته التودد والموالاة والقبول في حق من يرجى بذلك تأنيسه وتأليفه على الإسلام وهذا أقوى من الأول

Sang pengarang menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan kebolehan menerima hadiah non muslim. Al-Imam al-Thabari mengomparasikan bahwa penolakan Nabi diarahkan kepada hadiah yang secara khusus diberikan kepada beliau, dan hadits yang menerima diarahkan kepada pemberian untuk orang-orang Islam secara umum. Pendapat ini perlu dikaji ulang, sebab di antara dalil yang membolehkan adalah hadiah yang secara khusus diberikan kepada Nabi. Ulama lain memberikan jalan tengah bahwa penolakan Nabi konteksnya adalah non muslim yang bertujuan konspirasi (jahat), dan penerimaan Nabi konteksnya adalah non muslim yang dengan menerima hadiahnya dimaksudkan menghibur dan memberinya simpati agar masuk Islam. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dibandingkan yang pertama. (Fath al-Bari, 5/231).

Kesimpulannya, status hukum qurban seorang non muslim itu tidak sah. Namun distribusi hewan qurban dari mereka tetap boleh diterima oleh orang Islam atas nama sedekah, bahkan menjadi langkah yang tepat untuk menjaga keharmonisan antarumat beragama. Hewan pemberian non muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya adalah orang Islam.

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar