Rabu, 21 September 2022

Bepergian untuk Menziarahi Kuburan Nabi dan Aulia Allah: Haramkah?

Telah menjadi tradisi yang sejak lama dilakukan oleh mayortas kaum Muslim melakukan ziarah kubur ke makam nabi, para wali dan orang-orang saleh. Bahkan, di tanah Jawa, misalnya, tradisi melakukan ziarah ke makam Wali Songo terus berlangsung hingga saat ini. Makam para wali itu tak pernah sepi dari para peziarah. Namun sayang, akhir-akhir ini fatwa bid’ah terhadap tradisi itu dihembuskan oleh kaum Salafi-Wahabi, sehingga menyulut pertikaian di tengah masyarakat.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz adalah salah seorang ulama Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa tidak boleh melakukan perjalanan dengan tujuan untuk menziarahi kuburan Nabi atau kuburan orang lain menurut pendapat yang benar dari kalangan para ulama, berdasarkan sabda Nabi:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Jangan kalian bepergian mengadakan safar kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid al-Haram, dan Masjid al-Aqsha.” (HR Bukhari dan Muslim).[1]

***

Sebenarnya hadits di atas hanya menerangkan bahwa seorang Mukmin dianjurkan bepergian ke tiga masjid tersebut. Mengapa? Karena ketiganya memiliki keutamaan. Sayangnya kaum Salafi-Wahabi justru menjadikannya sebagai dalil untuk mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW. Dan dengannya pula mereka mengharamkan untuk melakukan ziarah ke makam para wali dan orang-orang saleh. Untuk mengungkap kekeliruan pemahaman kaum Salafi-Wahabi dalam memahami hadits di atas, maka berikut akan dipaparkan beberapa pernyataan ulama ahli terkait hadits tersebut.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:

قوله: "إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ" الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ مَحْذُوْفٌ، فَإِمَّا أَنْ يُقَدَّرَ عَامًا فَيَصِيْرُ: لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ، أَوْ أَخَصُّ مِنْ ذَلِكَ. لاَ سَبِيْلَ إِلَى اْلأَوَّلِ لِإِفْضَائِهِ إِلَى سَدِّ بَابِ السَّفَرِ لِلتِّجَارَةِ وَصِلَةِ الرَّحِيْمِ وَطَلَبِ الْعِلْمِ وَغَيْرِهَا فَتَعَيَّنَ الثَّانِي، وَاْلأَوْلَى أَنْ يُقَدَّرَ مَا هُوَ أَكْثَرُ مُنَاسَبَةً وَهُوَ: لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلاَةِ فِيْهِ إِلاَّ إِلَى الثَّلاَثَةِ، فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْلُ مَنْ مَنَعَ شَدَّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَةِ الْقَبْرِ الشَّرِيْفِ وَغَيْرِهِ مِنْ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَاللهُ أَعْلَمُ

وقال السبكي الكبير: لَيْسَ فِي اْلأَرْضِ بُقْعَةٌ لَهَا فَضْلٌ لِذَاتِهَا حَتَّى تُشَدَّ الرِّحَالُ إِلَيْهَا غَيَرَ الْبِلاَدِ الثَّلاَثَةِ، وَمُرَادِي بِالْفَضْلِ مَا شَهِدَ الشَّرْعُ بِاعْتِبَارِهِ وَرَتَّبَ عَلَيْهِ حُكْمًا شَرْعِيًّا، وَأَمَّا غَيْرُهَا مِنَ الْبِلاَدِ فَلاَ تُشَدُّ إِلَيْهَا لِذَاتِهَا بَلْ لِزِيَارَةٍ أَوْ جِهَادٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الْمَنْذُوْبَاتِ أَوِ الْمُبَاحَاتِ، قَالَ: وَقَدِ الْتَبَسَ ذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِمْ فَزَعَمَ أَنَّ شَدَّ الرِّحَالِ إِلَى الزِّيَارَةِ لِمَنْ فِي غَيْرِ الثَّلاَثَةِ دَاخِلٌ فِي الْمَنْعِ، وَهُوَ خَطَأٌ لِأَنَّ اْلإِسْتِثْنَاءَ إِنَّمَا يَكُوْنُ مِنْ جِنْسِ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ، فَمَعْنَى الْحَدِيْثِ: لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ أَوْ إِلَى مَكَانٍ مِنَ اْلأَمْكِنَةِ لِإَجْلِ ذَلِكَ الْمَكَانِ إِلاَّ إِلَى الثَّلاَثَةِ الْمَذْكُوْرَةِ، وَشَدُّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَةٍ أَوْ طَلَبِ عِلْمٍ لَيْسَ إِلَى الْمَكَانِ بَلْ إِلَى مَنْ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ، وَاللهُ أَعْلَمُ

“Sabda Nabi SAW “illaa ilaa tsalaatsati masaajida”, mustatsna minhu-nya terbuang. Apabila dikira-kirakan dengan lafazh umum, maka artinya menjadi, “Janganlah kamu bepergian ke suatu tempat dalam urusan apa pun kecuali ke tiga tempat.” Atau lebih khusus dari lafazh itu. Maka tidak bisa diartikan menggunakan lafazh umum, karena berakibat tertutupnya pintu sama sekali untuk bepergian dalam urusan dagang, silaturrahim, mencari ilmu, dan sebagainya. Maka yang dijadikan pijakan adalah yang kedua, yaitu lafazh khusus dan yang paling tepat adalah mengira-ngirakan dengan lafazh yang memiliki kecocokan, yaitu lafazh “masjid”. Sebab hal di atas, pendapat orang yang mengatakan bahwasanya bepergian untuk ziarah ke makam Nabi SAW dan makam orang-orang saleh dilarang,dianggap menyalahi maksud hadits.

Al-Subuki al-Kabir berpendapat, “Tidak ada tempat yang memiliki keutamaan di atas bumi ini ditinjau dari dzatiah tempat tersebut, sehingga diharuskan untuk pergi ke sana, selain tiga negeri di atas. Yang saya maksud dengan fadhl di sini adalah yang mendapat kesaksian dari syara’ dan menjadi hukum syar’i. Ada pun selain tiga tempat di atas, maka kita tidak diharuskan pergi ke sana, bahkan untuk ziarah, jihad dan menuntut ilmu yang dikategorikan pekerjaan yang mubah dan sunnat.” Kemudian al-Subuki berkata, “Telah terjadi simpang siur di kalangan umum dan mereka mengira bahwa berziarah ke tempat mana pun selain tiga di atas tidak diperbolehkan. Dan anggapan seperti ini adalah salah, karena pengecualian (istitsna’) itu harus sejenis antara mustatsna (yang dikecualikan) dengan mustatsna minhu (sesuatu yang menjadi pengecualian). Oleh karena itu, maksud sabda Nabi SAW menurut para pakar adalah, “Janganlah kamu bepergian ke suatu masjid atau ke suatu tempat, karena sebab tempat tersebut, kecuali ke tiga tempat (yang telah disebut).” Ada pun perjalanan untuk ziarah atau mencari ilmu, bukan bertujuan pada tempatnya, akan tetapi bertujuan pada orang yang ada di tempat itu. Wallahu a’lam. (Fath al-Bari, III/66).

Berdasarkan pernyataan Ibnu Hajar di atas dapat disimpulkan bahwa bepergian untuk ziarah ke makam Nabi Saw atau untuk mencari ilmu, tidak tercakup dalam larangan hadits di atas, sebab bepergian untuk ziarah bukan bertujuan pada tempatnya, akan tetapi bertujuan pada orang yang ada di tempat tersebut.   

Selain Al-Hafizh Ibnu Hajar, Imam Badruddin al-‘Aini juga berkata:

وَقَالَ شَيْخُنَا زَيْنُ  الدِّيْنِ مِنْ أَحْسَنِ مَحَامِلِ هَذَا الْحَدِيْثِ أَنَّ الْمُرَادَ مِنْهُ حُكْمُ الْمَسَاجِدِ فَقَطْ وَأَنَّهُ لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ غَيْرَ هَذِهِ الثَّلاَثَةِ فَأَمَّا قَصْدُ غَيْرِ الْمَسَاجِدِ مِنَ الرِّحْلَةِ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ وَفِي التِّجَارَةِ وَالتَّنَزُّهِ وَزِيَارَةِ الصَّالِحِيْنَ وَالْمَشَاهِدِ وَزِيَارَةِ اْلإِخْوَانِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَلَيْسَ دَاخِلاً فِي النَّهْيِ وَقَدْ وَرَدَ ذَلِكَ مُصَرَّحًا بِهِ فِي بَعْدِ طُرُقِ الْحَدِيْثِ فِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيْدِ حَدَّثَنِي شَهْرٌ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيْدٍ الْخُدْرِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَذُكَرَ عِنْدَهُ صَلاَةٌ فِي الطُّوْرِ فَقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ يَشُدِّ رِحَالَهُ إِلَى مَسْجِدٍ يَبْتَغِي فِيْهِ الصَّلاَةَ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ وَشَهْرُ بْنُ حَوْشَبْ وَثَّقَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ

“Guru kami Zainuddin (al-Iraqi) berkata, “Paling bagus mengarahkan hukum pada hadits ini adalah ke lafazh “masjidun”. Bahwa tidak boleh melakukan bepergian selain ke tiga masjid tersebut. Ada pun bepergian dengan tujuan –selain masjid-masjid tersebut— seperti bepergian untuk mencari ilmu, berdagang, rekreasi, berziarah ke kubur orang-orang saleh, tempat-tempat bersejarah, berkunjung ke tempat saudara, dan sebagainya, maka tidak termasuk dalam larangan. Ada hadits yang menjelaskan hal itu dalam Musnad Imam Ahmad, menceritakan kepada kami Hasyim, bercerita pada kami, Abdul Hamid bercerita kami, aku mendengar Abu Said al-Khudri ra tatkala berbicara tentang shalat di Thur, Nabi Saw bersabda, “Seharusnya bagi pengendara tidak melakukan bepergian ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat di sana, selain di Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Masjidku ini (Masjid Nabawi),”; sanad hadits ini hasan, dan Syahr bin Hausyab dinilai tsiqah oleh sekelompok ulama.” (Umdah al-Qari, VII/254).

Berdasarkan pernyataan ulama hadits di atas, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu an Tusahhah menyimpulkan: “Ada tiga perkiraan yang dapat digunakan untuk mengira-ngirakan lafazh yang dikecualikan (mustatsna) yang dibuang. Dari tiga perkiraan ini, dua dapat dipastikan salah, dan yang salah ini digunakan oleh golongan Salafi-Wahabi. Sedangkan perkiraan yang satu lagi yang dianggap benar, dan perkiraan inilah yang dipakai oleh para ulama, termasuk oleh ulama yang telah disebutkan di atas. Perkiraan-perkiraan itu adalah sebagai berikut:

1. Yang diperkirakan adalah lafazh “qabru”. Jika memperkirakan lafazh ini, maka arti yang dapat dipahami adalah, “Tidak dianjurkan pergi ke kuburan kecuali tiga masjid”. Perkiraan seperti ini tidak mungkin diucapkan oleh Nabi Saw, sebab susunannya sangat buruk dan hal ini tidak mungkin dikehendaki oleh beliau sebagai orang paling fasih yang pernah ada. Jika lafazh yang dikecualikan berupa lafazh “masjid” maka tentu sesuatu yang menjadi pengecualian (mustatsna minhu) harus berupa lafazh “masjid” juga, bukan diperkirakan dengan lafazh “qabru”. Perkiraan ini rupanya yang dianut oleh kaum Salafi-Wahabi.

2. Diperkirakan dengan lafazh yang bersifar general atau umum (‘am) yaitu lafazh “makan” (tempat), dan ini adalah pemahaman yang rusak.

3. Diperkirakan dengan lafazh “masjid”, dan perkiraan ini yang paling tepat dan sesuai dengan gramatika Arab. Sebab memang ada kesesuaian antara mustatsna dan mustatsna minhu. (Mafahim Yajibu an Tusahhah, hal. 284).

Pernyataan ketiga ini diperkuat dengan dua hadits berikut:

1. Hadits Abu Said al-Khudri ra. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Juz III, halaman 471, melalui jalur Syahr bin Hausyab:

لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيهِ الصَّلاَةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا

“Seharusnya bagi pengendara tidak melakukan bepergian ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat di sana, selain di Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Masjidku ini (Masjid Nabawi).”

Terkait perawi yang bernama Syahr bin Hausyab, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fath al-Bari, Juz III, halaman 65: “Syahr bin Hausyab haditsnya hasan walaupun ada sedikit ke-dhaif-an.”

2. Hadits Aisyah ra. Rasulullah Saw bersabda:

أَنَا خَاتَمُ اْلأَنْبِيَاءِ وَمَسْجِدِي خَاتَمُ مَسَاجِدِ اْلأَنْبِيَاءِ وَأَحَقُّ الْمَسَاجِدِ أَنْ يُزَارَ وَتُشَدَّ إِلَيْهِ الرَّوَاحِلُ مَسْجِدُ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي، وَصَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَام

“Aku adalah penutup para Nabi, dan masjidku adalah penutup masjid-masjid para Nabi. Dan masjidku lebih berhak untuk diziarahi. Dan yang harus didatangi adalah Masjidil Haram dan masjidku. Melakukan satu shalat di masjidku lebih utama daripada seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram.” (HR al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid, III/670).

Berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim di atas (yakni, hadits yang dijadikan dalil oleh kaum Salafi-Wahabi untuk membid’ahkan dan mengharamkan melakukan perjalanan khusus untuk ziarah ke kubur Nabi dan para wali), dapat disimpulkan bahwa Nabi Saw hanya ingin menjelaskan bahwa masjid-masjid selain ketiga masjid yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak memiliki keutamaan. Sedangkan ketiga masjid tersebut (Masjid Nabawi, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha) memiliki kelebihan dan keutamaan yang layak untuk dituju. Dan yang penting untuk diingat bahwa hadits tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan persoalan ziarah kubur.

Nah, di sinilah kekeliruan kaum Salafi-Wahabi yang memaksakan hadits tersebut sebagai dalil untuk membid’ahkan dan mengharamkan safar yang ditujukan untuk ziarah kubur. Dengan demikian, sesungguhnya bukanlah perbuatan bid’ah dan haram melakukan perjalanan untuk menziarahi makam Nabi SAW dan makam para wali. Ziarah kubur adalah sunnah dan telah menjadi kebiasaan umat Islam, baik kalangan awam maupun ulama, kecuali –mungkin— kaum Salafi-Wahabi.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang orang yang melakukan perjalanan secara khusus pada waktu-waktu tertentu untuk menziarahi kubur para wali, beliau menjawab:

زِيَارَةُ قُبُوْرِ اْلأَوْلِيَاءِ قُرْبَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَكَذَا الرِّحْلَةُ إِلَيْهَا

“Berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyyah, Juz II, halaman 24).

 



[1] Lihat: Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’'ah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Juz VIII : 336.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar