Sabtu, 24 September 2022

Isbal dalam Pandangan Ulama Empat Madzhab

Celana cingkrang merupakan sebutan bagi celana panjang yang ujungnya tidak sampai mata kaki. Model seperti ini sering diidentikkan dengan kelompok tertentu dari umat Islam. Bahkan menjadi pembeda antara kelompok tersebut dengan kelompok lain.

Kebalikan dari mengenakan celana cingkrang disebut isbal, yaitu memanjangkan pakaian berupa celana, sarung, jubah, dan sebagainya melebihi mata kaki. Para ulama dari kalangan empat madzhab berbeda pendapat tentang hukum isbal ini. Berikut penjelasannya.

Pertama, mayoritas ulama dari kalangan madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i, dan sebagian ulama madzhab Hanbali menyatakan, memanjangkan pakaian melebihi mata kaki hukumnya mubah.

Syaikh Ibnu Muflih berkata:

 وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ، فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ

“Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah rahimahullah mengenakan jubah mahal berharga empat ratus dinar, dan beliau menjulurkannya di atas (mendekati) tanah. Dikatakan kepadanya: Bukankah kita dilarang melakukan hal itu? Beliau berkata: Larangan itu untuk orang sombong, dan kita bukan bagian dari mereka” (Al-Adab Al-Syariyyah, juz 3, h. 521).

Sedangkan Syaikh Al-Munawi dari madzhab Syafi’i menuturkan:

وَالْمُسَبِّلُ إِزَارَهُ) الَّذِي يُطَوِّلُ ثَوْبَهُ وَيُرْسِلَهُ (خُيَلَاءَ) أَيْ بِقَصْدِ الْخُيَلَاءِ بِخِلَافِهِ لَا بِقَصْدِهَا

“Dan orang yang memanjangkan sarungnya, yaitu orang yang memanjangkan pakaiannya dan melepaskannya karena tujuan kesombongan. Berbeda (hukumnya) bagi orang yang memanjangkannya bukan karena tujuan sombong” (Faidhul Qadir, juz 3, h. 436).

Senada dengan para ulama di atas, seorang ulama madzhab Hanbali bernama Ibnu Muflih menuliskan:

 جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ

“Memanjangkan sarung, jika bukan bertujuan sombong, hukumnya tidak apa-apa. Dan pendapat ini merupakan zhahir pendapat lebih dari satu ulama mazhab Hanbali.” (Al-Adab Al-Syariyyah, juz 3, h. 521).

Kedua, sebagian ulama dari kalangan madzhab Maliki dan sebagian ulama madzhab Hanbali yang lain, mengatakan bahwa memanjangkan pakaian melebihi mata kaki hukumnya makruh.

Syaikh Al-Adawi dari madzhab Maliki mengatakan:

وَالظَّاهِرُ: أَنَّ الَّذِي يَتَعَيَّنُ الْمَصِيرُ إلَيْهِ الْكَرَاهَةُ الشَّدِيدَةُ

“Tampaknya, pendapat yang harus dipilih adalah bahwa memanjangkan pakaian sangat dimakruhkan” (Hasyiyatul Adawi, juz 2, h. 453).

Sedangkan dari kalangan madzhab Hanbali seorang ulama bernama Ibnu Qudamah juga menulis:

 وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ

“Dimakruhkan memanjangkan gamis (baju kurung), sarung, dan celana” (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 2, h. 298).

Ketiga, sebagian ulama dari madzhab Maliki yang lain menyatakan keharaman memanjangkan pakaian melebihi mata kaki.

Syaikh Al-Qarafi menjelaskan:

 يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ أَنْ يُجَاوِزَ بِثَوْبَيْهِ الْكَعْبَيْنِ

“Haram bagi laki-laki melebihkan kedua pakaiannya melewati kedua mata kaki” (Azzakhirah, juz 13, h. 265).

Berdasarkan penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum isbal ini. Berikut ringkasannya:

1. Mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’i, dan sebagian ulama madzhab Hanbali membolehkannya.

2. Sebagian ulama madzhab Maliki, dan sebagian ulama madzhab Hanbali yang lain memakruhkannya.

3. Sebagian ulama madzhab Maliki yang lain mengharamkannya.

Dari ketiga pendapat tersebut, yang kuat adalah pendapat yang membolehkannya. Karena para ulama yang memakruhkan atau mengharamkannya berdalil hanya dengan hadits yang mutlak, seperti hadits riwayat Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

 مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ

“Sesuatu yang berada di bawah kedua mata kaki berupa sarung tempatnya adalah di neraka” (HR. Imam Bukhari).

Sementara, di sisi lain ada hadits-hadits tentang masalah ini yang datang dengan redaksi muqayyad (terbatas), seperti hadits riwayat Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

 لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

“Allah tidak akan melihat orang yang memanjangkan pakaiannya karena sombong” (HR. Imam Muslim).

Maka kedua model hadits tersebut harus dipadukan. Oleh karena itu, para ulama mendahulukan hadits yang muqayyad atas hadits yang mutlak. Dengan demikian, memanjangkan pakaian melebihi mata kaki tidak diharamkan, jika tidak ada tujuan kesombongan (Fathul Bari, juz 10, h. 263).

Kemudian, ada sebuah hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi Saw menoleh ke Abu Bakar, seraya mengatakan:

 مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّهُ يَسْتَرْخي إِزَارِيْ أَحْيَانًا. فَقَالَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم: لَسْتَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat kepadanya”. Mendengar hal itu, Abu Bakar bertanya: “Sungguh sarungku terkadang terjulur. Maka Nabi Saw bersabda: “Kamu bukanlah termasuk dari mereka” (HR. Ahmad dan Bukhari)

Pada hadits ini Rasulullah Saw mengecualikan Abu Bakar dari golongan orang yang pada hari kiamat nanti tidak dilihat oleh Allah, sebab mereka memanjangkan pakaiannya karena sombong. Dengan demikian, hadits di atas memberi isyarat bahwa memanjangkan pakaian melebihi mata kaki tidak diharamkan jika tidak ada tujuan kesombongan.

Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar