Selasa, 13 September 2022

Tiga Hari Bersama Penduduk Surga

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan An-Nasa’i, Anas bin Malik ra meceritakan sebuah kejadian yang dialaminya pada sebuah majelis bersama Rasulullah Saw.

Anas bin Malik ra bercerita, “Pada suatu hari kami duduk bersama Rasulullah Saw, kemudian beliau bersabda, ‘Sebentar lagi akan muncul di hadapan kalian seorang laki-laki calon penduduk surga’. Tiba-tiba muncullah seorang laki-laki Anshar yang janggutnya masih basah oleh air wudhu dan tangan kirinya sedang membawa sandalnya.”

Esok harinya, Rasulullah Saw berkata begitu juga, “Akan datang seorang laki-laki calon penduduk surga.” Dan muncullah laki-laki yang sama. Begitulah Nabi mengulang sampai tiga kali berturut-turut.

Ketika majelis Rasulullah selesai, Abdullah bin Amr bin Ash ra mencoba mengikuti laki-laki yang disebut oleh Nabi sebagai calon penduduk surga itu. Kemudian dia berkata kepadanya, “Saya ini bertengkar dengan ayah saya, dan saya berjanji kepada ayah saya bahwa selama tiga hari saya tidak akan menemuinya. Bolehkah aku menginap di rumahmu selama tiga hari itu?” Laki-laki Anshar itu pun mengizinkannya.

Abdullah bin Amr bin Ash mengikuti orang itu ke rumahnya, dan tidurlah Abdullah di rumah orang itu selama tiga malam. Selama itu Abdullah ingin menyaksikan ibadah apa gerangan yang dilakukan oleh orang itu sehingga Rasulullah menyebutnya sebagai seorang calon penduduk surga. Tetapi selama itu pula dia tidak menyaksikan sesuatu yang istimewa di dalam ibadahnya.

Kata Abdullah, “Setelah lewat tiga hari aku tidak melihat amalannya yang istimewa, sampai-sampai aku hampir meremehkannya. Lalu aku berkata, ‘Hai hamba Allah, sebenarnya aku tidak bertengkar dengan ayahku, dan tidak juga aku menjauhinya. Tetapi aku mendengar Rasulullah Saw berkata tentang dirimu sebagai calon penduduk surga. Aku ingin memperhatikan amalanmu supaya aku dapat menirunya. Mudah-mudahan dengan amalan yang sama aku bisa mencapai kedudukanmu’.”

Lalu orang itu berkata, “Yang aku amalkan tidak lebih dari apa yang engkau saksikan.” Ketika aku hendak meninggalkannya, kata Abdullah, dia memanggilku. Kemudian ia berkata, “Wahai sahabatku, demi Allah, amalanku tidak lebih daripada apa yang engkau saksikan. Hanya saja aku tidak pernah menyimpan pada diriku niat buruk kepada kaum muslimin, dan aku pun tidak pernah merasa iri kepada mereka atas segala nikmat yang sudah Allah berikan untuk mereka.”

Lalu Abdullah bin Amr bin Ash ra berkata, “Beginilah bersihnya hatimu dari perasaan buruk kepada kaum muslimin, dan bersihnya hatimu dari rasa iri kepada mereka. Inilah tampaknya yang menyebabkan engkau sampai ke tempat terpuji itu. Inilah justru yang tidak pernah bisa kami lakukan.”

***

Memiliki hati yang bersih dan tidak pernah merasa iri terhadap sesama muslim kelihatannya sederhana, tetapi sering kali justru amalan itu yang sulit kita lakukan. Mungkin kita mampu untuk menunaikan shalat tahajud di tengah keheningan malam, sujud dan rukuk di hadapan Allah, namun amat sulit bagi kita untuk menghilangkan rasa iri dan dengki kepada sesama muslim. Bisa jadi perasaan iri dan dengki itu disebabkan karena pahamnya yang berbeda dengan kita, atau mungkin karena kelebihan yang diberikan Allah kepadanya, sedangkan kita tak memilikinya. “Inilah justru yang tidak mampu kita lakukan,” kata Abdullah bin Amr bin Ash ra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar